Semanis Susu, Sepahit Pare - Cerpen Cinta Remaja

SEMANIS SUSU, SEPAHIT PARE.
Karya Rafael Stefan Lawalata.

''Ergghh enggak, terimakasih...'' jawab Raden mengangkat piringnya jauh-jauh dari gerobak tukang siomay. Siang yang terik itu, dia bersama temannya, Irama, sedang menikmati suasana sejuk di kantin kampus, dekat dengan pepohonan rindang yang meringkuk. Raden berjalan menuju meja yang telah diduduki Irama sedari tadi, tentunya membawa sepiring siomay kesukaannya.
''Gak pake pare lagi?'' tanya Irama.
Raden menggelengkan kepalanya, ''Yah, lu tau kan kalau gua gak suka sama pare?''

Irama mencoba menahan suara tawa dari mulutnya karena mendengar ucapan temannya itu. ''Lucu juga ya lu Den.''
''Lucu kenapa?'' tanya Raden mengambil posisi duduk berhadapan dengan Irama.
''Ya gua gak ngebayangin aja kalau sampai suatu saat lu bakal makan tuh pare!''
''Gua akan makan pare kalau gua punya pacar nanti. Lu mau liat gua makan pare?'' Irama mengangguk. ''Nih rasain!'' kata Raden sambil mengolesi wajah Irama dengan saus kacang dari siomaynya.
''Ihhh jorok sih!'' kata Irama sambil menyeka wajahnya dengan sebelah tangannya.
''Hehehe maaf deh, nih...'' lanjut Raden menyeka wajah temannya itu dengan menggunakkan saputangan. Sesaat mereka saling bertatapan cukup lama, ketika tangan Raden menyentuh tangan Irama.
''Eh kok bengong?'' tanya Irama mengambil saputangan itu dan kembali membersihkan wajahnya.
''Ah... enggak kok, perasaan lu aja, gua tadi cuma ngebayangin kalau yang gua peperin itu susu!'' kata 
Raden sambil tertawa.
''Ah elu! Gua kan gak suka sama susu!''
''Tuh lu sendiri gak mau susu kan?''
''Gua akan minum susu kalau gua punya pacar juga nanti weeeee....'' katanya sambil menjulurkan lidah.
Semanis Susu, Sepahit Pare
Kembali kedua pelajar itu melanjutkan makan siang mereka sebelum menuju ke kelas masing-masing. Sebagai seorang teman sejak SMA, Raden dan Irama cukup akrab dan dekat. Orangtua Irama pun sudah sangat mengenal Raden, bahkan menganggapnya sebagai bagian dari keluarga mereka. Irama pun menganggap Raden sebagai seorang kakak yang selalu menjaga dan menolongnya ketika dia mempunyai banyak masalah. Sebut saja mengerjakan tugas praktek kuliah, merangkum, dan hal-hal kecil yang sering dia lewatkan. Raden selalu hadir di manapun Irama berdiri. Bahkan 24 jam Raden hadir untuk Irama. Ke manapun Irama pergi, Raden akan mengantarkan. Bisa dikatakan, jika Irama bagaikan amplop surat, Raden adalah perangkonya. Tanpa Raden, mungkin Irama tidak bisa menjadi seperti sekarang.

Semua kesibukan dan jadwal padat Irama tidaklah menganggu Raden. Ia tulus dan ikhlas menolong temannya itu. Namun ada satu hal kecil yang mengusik hati Raden, yakni mengenai perasaannya kepada Irama. Sebenarnya Raden jatuh cinta dan mengagumi temannya itu sejak SMA. Belum cukup keberanian dia kumpulkan untuk mengutarakannya langsung pada tambatan hatinya. Raden takut bila cintanya ditolak, bahkan ia takut tidak dapat lagi berdekatan dengan Irama seperti sekarang ini. Maka selama lima tahun ini, dia terus membisu dan menahan perasaannya, meski perih baginya untuk menyimpan rapat-rapat kasih sayangnya untuk Irama.

Raden menyantap makan siangnya dengan cepat, tak lebih dari tiga menit piringnya sudah bersih, bahkan sampai ke saus kacangnya. Kemudian ia melihat jam tangannya dan berkata, ''Ooops! Udah waktunya gua pergi ke bengkel sekarang!''
''Cepat amat Den?'' tanya Irama yang masih menyantap suap demi suapan siomaynya.
''Hari ini gua praktek kelistrikan, lagipula asdos harus datang lebih awal toh?'' kata Raden sambil merapikan tas dan bukunya.
''Cieee tau deh yang asdos mah,'' kata Irama dengan nada menyindir.
''Ah daripada gua jadi anak bawang, ups keceplosan!'' balas Raden sambil mengacak-acak rambut Irama.
''Ihhhh! Awas ya lu!'' Raden segera pergi sambil melambaikan tangannya. ''Eh inget jam empat ya!''
Raden hanya mengangkat tangannya dan berlari menghilang dari kantin.
Sudah merupakan sebuah tradisi bagi mereka berdua untuk pulang bersama. Kebetulan Raden belum lama ini mencicil sebuah motor bekas, tentu ini memudahkan dan mempersingkat waktu baginya untuk mengantarkan Irama ke manapun dia mau. Setiap pagi jam lima, dan setiap sore jam empat, Raden sudah duduk di atas jok motornya dan menanti kedatangan Irama untuk diantarkan ke kampus atau rumahnya.

Sejak bangku SMA, Raden dikenal sebagai seorang yang dewasa dan mandiri. Ia sangat disiplin masalah waktu dan tegas dalam mengambil keputusan. Itulah yang membuat dirinya terpilih menjadi asisten dosen pada tahun keduanya duduk di bangku kuliah. Dia sigap dan cekatan, bahkan murah senyum. Hampir seluruh mahasiswi di kampus mengenalnya, termasuk senior dan juniornya. Senyum manisnya sulit dilupakan, itulah yang membuatnya disukai banyak orang. Belum lagi kebaikan hatinya, di mana dia selalu siap menolong siapapun yang membutuhkan bantuannya. Dia datang di kala susah, dan pergi di kala suka. Pemilik bulu mata lentik ini menjadi mahasiswa favorit di kalangan mahasiswi dan dosen-dosennya.

Bagi Raden, semua itu tidaklah penting. Dia hanya melakukan apa yang seharusnya dia lakukan. Dia menolong bukan untuk mencari muka, karena dia merasa sesama manusia harus saling membantu dan peduli satu sama lain. Namun, di balik keceriaan dan kebaikan dirinya, tersimpan rasa sedih yang mendalam. Karena dirinya belum mampu menyatakan perasaannya pada Irama. Ia berani berbicara dan tampil di depan khalayak umum mengenai pemikirannya, tetapi untuk Irama seorang ia tidak berani menyatakan perasaannya, bahkan untuk menatap kedua mata gadis pujaannya itu pun ia tidak bernyali.

Jam empat lewat lima belas menit, suasana di tempat parkir kampus semakin sepi. Raden seorang diri duduk di atas motornya, sambil memegang helm untuk Irama. Menanti penuh kecemasan, Raden yang juga menelepon Irama sejak tadi, semakin dibuat khawatir karena teleponnya tidak aktif. Jantungnya semakin berdegup kencang, ketika detik jam bergerak semakin cepat dan menjauh dari angka empat. Ia tetap menunggu di sana, walau di parkiran hanya dia seorang. Barulah Irama datang setelah jarum menit jam melewati angka lima. Langkahnya terburu-buru dan wajahnya dirundung rasa takut. Dia berlari mendekat ke motor Raden, dan ketika sampai dia mencoba mengatakan sesuatu dengan nafas terengap-engap.
''So.. sori.. sori Den...'' kata Irama dengan nafas yang masih tak beraturan.

Raden diam saja dan memberikan helm pada Irama.
''Den.. Den lu marah ya?''
''Enggak, udah ayo naik, entar lu dicariin sama bapak ibu lu.''
Irama segera mengenakan helm dan duduk di jok belakang, dengan menaruh tasnya di antara dia dan Raden. Tanpa membuang waktu, Raden segera tancap gas menuju rumah Irama yang memang berjarak tidak begitu jauh dari kampus.

Sepanjang perjalanan Raden diam tak bicara. Irama, yang diliput rasa bersalah, juga tidak berani berbicara padanya. Irama tahu bahwa Raden pasti marah karena keterlambatannya dan dia tidak mau membuat Raden lebih pusing lagi. Irama memutuskan akan berbicara pada Raden ketika mereka tiba di rumahnya. Irama hanya mencuri pandang dari kaca spion yang menampakkan wajah kaku Raden.

Setibanya di rumah, Irama segera turun dan memberikan helmnya pada Raden. Baru saja ia mau berbicara, Raden sudah menyalakan mesin motornya lagi.
''Gua cabut dulu ya?'' jawab Raden ketus.
''Iya... iya Den, tapi...''
''Hem?'' kata Raden menatap dari balik kaca helmnya. ''Apa?''
''Enggak... enggak apa-apa, hati-hati ya.''

Raden segera pergi dari sana meninggalkan tubuh kaku Irama yang menatap kepergiannya.
''Aku sms saja nanti deh,'' kata Irama dalam hati.

Cukup banyak curhatan hati yang Irama curahkan pada Raden. Sekalipun hal itu membuat Raden sedih, sebut saja kejadian beberapa tahun yang lalu di bangku SMA. Ketika Irama sedang bersusah hati karena cintanya ditolak oleh seorang siswa yang disukainya. Padahal baru beberapa bulan mereka dekat. Awalnya Raden tidak menyetujui kedekatan Irama dengan siswa itu, namun lama-kelamaan Raden berusaha menerima kenyataan yang pahit, bahwa Irama menyukai siswa itu. Akan tetapi kenyataan berkehendak lain, siswa itu menolak Irama. Dalam hati, Raden sungguhlah senang menyambut kembali pujaan hatinya, tetapi hati kecilnya menangis merasakan apa yang Irama rasakan. Dalam pelukannya, Irama menangis tersedu tanpa henti. Tanpa diketahui oleh Irama, Raden pun meneteskan air mata kepedihan. Air mata untuk orang yang disayangnya.
''Gua gak ngerti harus apa lagi Wi,'' kata Raden pada Dewi, seorang teman Irama lainnya. Dewi telah mengetahui perasaan Raden kepada Irama, dan sampai saat ini Raden selalu menceritakan suka dukanya bersama Irama kepada Dewi.
''Den, lu harus ngomong, be a gentleman!''
''Ngomong apa? Lu tau kalau Irama itu cuek, jutek bahkan gak pernah menganggap serius apapun yang gua omongin sama dia.''
''Lu harus terus berjuang Den! Ini bukan akhir dari segalanya, lagian banyak waktu buat lu ngomong sama dia kan?''
''Iya sih,'' jawab Raden perlahan.
''Tadi pagi lu jemput dia?''
Raden menggeleng.
''Duh harusnya lu tuh jemput dia! Jangan buat seorang cewek merasa bersalah! Terus lu udah sms dia?''

Raden kembali menggelengkan kepalanya.
''Duh Den Den... ribet nih masalah...''
''Sebenernya, dia duluan sms gua semalam, dia bilang dia minta maaf...''
''Minta maaf kenapa?'' tanya Dewi penasaran.
''Soal kemarin sore, dia telat hampir setengah jam, ya dalem hati sih gua kecewa...''
''Kenapa lu gak bales?''
''Dia selalu ngulang semua kesalahannya Wi! Kalau gua gak sayang dan care sama dia, udah lama gua pergi dari kehidupannya!''
''Terus, kenapa lu masih bertahan?''

Pertanyaan Dewi membuat Raden diam seribu bahasa. Sebenarnya dia bisa menjawab pertanyaan sederhana itu. Namun lidahnya kaku sesaat sebelum dia berkata-kata. Yang sebenarnya dia ingin ucapkan adalah bahwa dia masih tetap yakin, dan selalu yakin bahwa dia bisa membahagiakan Irama. Dia mampu hadir di setiap saat Irama membutuhkan dirinya, dia mampu menjaga perasaannya kepada Irama. Keyakinan itulah yang membuat Raden tetap memegang teguh prinsipnya.
''Jemput dia nanti,'' lanjut Dewi.
''Apa?''
''Lu budek ya? Jemmmmputtt diaaa nantiiii!'' teriak Dewi di sebelah telingaku.
''Hei hei santai!'' kataku mundur sambil memegang telingaku. ''Ini aset berharga milik gua.''
''Sudahlah Den, lu ngerti kan apa maksud gua? Cewek itu selalu menunggu cowok yang tepat dan berani memilihnya!'' kata Dewi lalu pergi dari sana.
''Cowok yang tepat?''

Segera setelah mendapatkan ''wangsit'' dari Dewi, Raden menunggu Irama di parkiran seperti biasanya. Raden pun sudah mengetikkan sms pada Irama yang berisi bahwa dirinya sudah menunggu Irama di parkiran. Mungkin sudah tiba saatnya, bagi Raden untuk menyatakkan perasaannya kepada Irama hari ini. Sebelum jam sepuluh tepat, dia akan menyampaikan perasaannya kepada Irama, dambaan hatinya.

Tetapi semua tidak berjalan sebagaimana mestinya, semua tidaklah semulus seperti yang diperhitungkannya. Raden diam terpaku melihat Irama yang berjalan ke arah parkiran dengan seorang pria di sebelahnya, seorang pria!
Mereka berpengangan tangan sambil menuruni tangga menuju parkiran. Pemandangan mengagetkan sekaligus memilukan bagi Raden. Dia tidak menyangka hal ini akan terjadi, di sore yang cerah baginya. Bukan hanya Raden yang kaget, Irama pun menyadari keberadaan Raden dan dirinya juga terkejut melihatnya.
''Raden?'' tanya Irama.
''Gua lihat lu udah ada temen pulang...''
''Den, sori ya, sebenernya dari kemarin gua mau bilang sama lu...''
''Soal apa?''
''Gua mau cerita sama lu kemarin malem, tapi lu gak bales sms gua.''
''Semalem gua udah tidur cepet Ma, gua yang harusnya minta maaf.''
''Gak apa-apa Den, tapi lu maafin gua kan?''

Berat bibirnya terbuka namun akhirnya ia berkata, ''Ya, santai aja Ma, lu kaya sama siapa aja.''
''Oke deh makasih Den,'' katanya kembali ceria. ''Oh ya kenalin, ini Dani, dia temenku.''
''Hai,'' jawab Dani dingin. ''Lu temennya Irama?''
''Ya,'' kata Raden menjawabnya.
''Irama udah cerita soal lu, oh ya Ir, duluan aja ke mobil, nanti gua nyusul.''
''Oh yaudah kalo gitu Dan,'' Irama segera melangkah ke arahku. ''Den, duluan ya, nanti malam Dani mau ajak gua ke warung siomay yang enak, lu mau ikut?''
''Gua ada tugas Ma, lain waktu aja,'' jawab Raden begitu karena melihat tatapan tajam dari Dani. Sesungguhnya ia khawatir pada Irama, terlebih dengan kedatangan Dani, seorang yang baru dikenalnya.
''Oke deh, hati-hati ya Den,'' jawab Irama berjalan ke arah mobil Dani.
''Lu juga,'' balas Raden.

Baru beberapa saat Irama masuk ke mobil, Dani menyusulnya namun dia sempat berkata pada Raden.
''Mulai saat ini, jauhi tangan dan kaki lu dari Irama, karena malem ini dia bakal jadi pacar gue!''
''So?'' tanya Raden.
''Gua gak mau kedekatan gua sama dia keganggu sama lu, atau siapapun!''
''Eh hati-hati kalau lu bicara,'' Kata Raden sambil memegang kerah jaket Dani. ''Irama itu wanita baik-baik, sampe lu buat dia nangis, bahkan sampai sedih aja, lu bakal nyesel!''
''Simpen anceman lu pengecut. Lu yang harus angkat kaki dari hidupnya kalo lu gak berani ngomong sama dia!''

Kalimat terakhir terus berdengung dalam telinga Raden. Matanya menatap kepergian Irama dalam mobil putih kecil yang membawanya menuju malam bahagianya. Sungguh tidak rela hatinya melepas kepergian Irama, bersama pria yang tidak jelas kepribadiannya.

Dalam hati ia terus bertanya, apakah Irama akan bahagia bersama pria itu? Apakah Irama akan menyesal di kemudian hari?
''Aku telah merasakan penyesalan sebelum ini, aku tidak ingin membuat Irama menyesal, hanya aku tidak berani mengungkapkan perasaanku,'' kata Raden dalam pikirannya. Segera setelahnya, Raden memutuskan untuk menyusul Irama dan Dani ke warung siomay di dekat sana, untuk memastikan bahwa Irama baik-baik saja.

Tepat setelah matahari terbenam dan rembulan menampakkan wajahnya, Raden sudah tiba di belakang warung itu. Warung itu memang cukup besar dan terkenal di daerah sana, sejak SMA pun Raden dan Irama sering makan di sana. Maka Raden sudah mengambil posisi di dekat parkiran, duduk dan menanti kedatangan Irama.
Tidak lama kemudian, berhentilah sebuah mobil putih di depan warung. Mobil putih yang sama persis dengan mobil Dani. Raden yang menyadarinya, segera mengamati dengan seksama. Turunlah Irama, dengan baju coklat yang kontras dan sederhana, bersama Dani. Diam-diam, Raden mengamati terus mereka hingga duduk di dalam.

Baru beberapa saat mereka duduk berdua, seorang wanita berjalan dengan cepat ke arah mereka dan segera menggebrak meja yang mereka tempati. Mereka berdua kaget dan segera berdiri. Dani, menarik tangan wanita itu, akan tetapi dia segera menampar wajah Dani. Dengan gelagapan, Dani mencoba menahan Irama juga, tetapi Irama segera berlari ke arah belakang. Raden yang telah siap, langsung mengejar Irama.
''Irama! Irama!'' teriak Raden mengerjar Irama, namun dia kehilangan jejaknya di tengah keramaian kota malam itu. Masih melirik di antara pejalan kaki dan kendaraan yang melintas, namun Raden tak dapat menjumpai Irama.
''Aku gagal,'' katanya tertunduk lesu sambil berjalan kembali ke arah warung tersebut. Raden duduk di bangku di teras luar; bangku di mana dia dan Irama selalu duduk ketika makan.
''Mau pesan apa mas?'' tanya seorang pramusaji.
''Tidak mba, nanti aja, saya lagi cari seseorang.''

Raden menyesal karena ia terlambat mengatakannya. Ia terlambat menyampaikan perasaannya kepada Irama. Ia bergumam sendiri ketika duduk di sana.
''Irama, andai kamu tau perasaanku yang sesungguhnya, betapa aku tulus kepadamu. Selama ini, aku hanyalah pria bayangan yang menyelimuti dirimu, tanpa bisa menyentuhmu tepat di hati. Oke, aku tau aku tidaklah tajir atau berwajah tampan, aku hanyalah pria sederhana yang menyayangimu dengan bijaksana... aku... ah andai kamu di sini...''
''Mas...?''
''Mba sudah kubilang...'' kata Raden mencoba berkata kepada pramusaji itu lagi bahwa dia ingin memesan nanti, akan tetapi alangkah kaget dirinya melihat bahwa yang berkata barusan bukanlah pramusaji dari warung itu, tetapi dia adalah Irama sendiri.
''Irama...??''
''Mas... benarkah apa yang semua lu katakan tadi Den?'' tanya Irama masih dengan mata berlinangan air mata.
''Gu.. gua bisa jelasin Ma, gua..''
''Stop,'' jari Irama menyentuh bibir Raden. ''Gua udah denger semuanya dari tadi, gua gak butuh penjelasan. Gua mau... lu ucapin apa yang lu ucapin tadi di depan gua langsung...''
''Tapi Ma...''
''Den... gua mohon...''
''Sejak pertama kali berjumpa, gua punya rasa sama lu. Semakin hari, semakin dalam, bahkan gua semakin kecanduan. Karena lu yang sederhana ini, membuat gua jatuh cinta. Gua sayang sama lu Ma, sejak dulu gua mau bilang ini...''
''Kenapa baru sekarang?'' tanya Irama sambil menangis.
''Karena gua gak berani... gua takut lu pergi...''
''Den, lihat mata gua...'' tangannya memegang wajah Raden dan mengarahkannya menatap kedua matanya. ''Gua juga sayang sama lu, coba dari dulu lu bilang...''
''Bener Ma?''
''Apa mata ini bohong Den? A... aku sayang sama kamu juga...''
''Makasih Ma!''

Langsung saja Raden memeluk tubuh Irama yang bergetar itu. Malam itu Irama yang sedih karena pengkhianatan, kembali bersuka karena pembuktian cinta. Temannya sendiri, yang selama ini setia bersamanya, Raden, akhirnya menyatakan cinta kepadanya. Air mata Irama turun membasahi kaos yang dikenakan Raden.
''Ma, gua eh aku gak akan mengecewakanmu.''
''Gua.. gua... maksudnya aku juga Den.''
''Kita akan terbiasa kok dengan aku-kamu,'' kata Raden tersenyum.
''Iya Den, aku gak menyangka bahwa selama ini seorang yang begitu dekat dan setia bersamaku sebagai seorang teman, selama lima tahun ini berubah menjadi seorang pacar dalam waktu satu malam...''
''Aku... juga masih tak percaya Ma.''
''Iya Raden, terimakasih,'' jawab Irama tersenyum. ''Makan yuk, aku lapar nih.''
''Baiklah, nih seka air matamu,'' kata Raden memberikan sebuah saputangan pada Irama sementara pramusaji tadi datang dan mencatat pesanan mereka.
''Siomay dan tahu tanpa pare, minumnya susu hangat ya, kamu Ma?''
''Aku pesan siomay pakai pare, dan teh hangat saja mba... kok kamu enggak pake pare Den?''
''Kan kamu tau aku gak su...''
Baru saja Raden mau berkata, jari Irama menahan lagi. ''Ingat janjimu soal makan pare?''
Raden mengangguk. ''Kamu sendiri tidak pesan susu, lupa ya sama apa yang kamu bilang?''

Wajah Irama memerah dan menjadi malu. ''Ihhh kamu mah...''
''Mari, kita tepati janji kita bersama...''
Kemudian Raden memesan pare dan Irama juga ikut memesan segelas susu baginya.

Sebelum saling menyantap mereka saling berpandangan dan melihat sepiring pare dan segelas susu di hadapan mereka.
''Siap?'' tanya Raden.
''I... iya...'' jawab Irama.

Raden menyuapi segelas susu ke mulut Irama sementara Irama memberikan sepotong pare kepada Raden. Terlihat mereka menahan mual yang berat namun akhirnya mereka bisa menelannya.
''Susu enak kan?''
''Apanya? Pare enak tuh!''

Lalu mereka saling menyuapi kembali, segelas susu dan sepiring pare yang tidak enak bagi mereka.
''Ma, aku belajar sesuatu...'' kata Raden sambil disuapi.
''Apa Den?''
''Cinta kita semanis susu dan sepahit pare, karena walaupun kita tidak saling menyukainya, kita akan tetap merasakannya bersama-sama. Biarlah pare dan susu ini menjadi saksi atas cinta kita.''
''Wooo apasih kamuuu,'' kata Irama menyodori pare kembali ke mulut Raden.

PROFIL PENULIS
Nama: Rafael Stefan Lawalata
Facebook: Rafael Stefan Lawalata
"Jadi bos itu butuh perhitungan, bukan sekedar itung-itungan!"
Penulis pemula dan muda namun berpengalaman.

Labels: , ,