Sekapur Sirih - Cerpen Cinta Remaja

SEKAPUR SIRIH
Karya Ulfa Tapani

Kado berhiaskan pita biru itu tengah duduk manis di atas meja belajarku. Aku ingin sekali memberikan sebungkus bingkisan sederhana ini untuk sahabatku tercinta. Entah, ia begitu menyukai warna biru dan ketika aku tanya mengapa, jawabannya selalu klise.”Aku suka biru , karena biru itu laut, laut itu luas , seluas impianku, dan biru itu langit, langit itu luas, seluas harapanku.”

Pernah, suatu waktu ia bertanya padaku, “apa cita-citamu?”.Dia selalu antusias untuk mendapatkan jawaban dariku. Ah, aku selalu malas kalau orang menanyakan apa cita-citaku. Kenapa? Karena aku bingung, hobiku membaca novel dan menulis cerita, aku jadi ingin menjadi penulis atau seorang jurnalis. Tapi, di sisi lain, hobiku menyanyi dimana saja, di kamar mandi, di kamar, atau bahkan di dapur sekalipun. Apapun perasaanku, sedih, senang, kecewa, selalu kutumpahkan pada sebuah lagu, maka kelak aku ingin jadi seorang penyanyi. Dia tertawa terbahak-bahak “Hahaha,,, Tiffany, kau tak usah ragu untuk merangkai cita-cita, apa ada yang melarangmu? . gantungkan cita-citamu setinggi langit, ahh pepatah itu sudah basi ya, tapi menurutku itu patut kita sikapi.” “Memangnya cita-citamu apa?” aku balik bertanya. Dan jawabannya selalu klise “Aku ingin keliling dunia, menyapa setiap makhluk di bumi ini, sebelum dunia ini terasa begitu sempit, sebelum waktuku habis.”Aku hanya bisa menampilkan senyum simpulku setiap mendengar jawaban spektakulernya itu.

Sekapur Sirih
Saat aku bediam di tempat favoritku, taman di belakang sekolah sambil melakukan hobiku, membaca novel, Mawar menghampiriku. “Kau tak bosan dengan hobimu itu ?” tanyanya tiba-tiba. Aku mengangkat kepalaku. “Reading isn’t my hobby, reading is my habbit.” Aku menampilkan senyumku yang lebar.Ia menarik nafas, “Lihatlah, dunia ini begitu luas untuk kau jelajahi. Tak inginkah kau menjelajahinya?” aku tertunduk. Ya memang benar apa yang dikatakannya. Aku mengangguk pelan.“Hei, mawar ini indah sekali, harum mewangi..”Mawar mengalihkan pembicaraan. “Pantas saja kau suka namamu kan Mawar, “ ia tersenyum “Justru mawar itu membahayakan. Aku mengerutkan kening sebagai isyarat ketidak mengertian aku pada kalimatnya itu.“Ya tentu saja, mawar itu berduri, membahayakan siapa saja yang menyentuhnya tanpa hati-hati. Sama seperti hidup jika kita tidak hati-hati dalam menghadapi hidup, kita akan tertusuk duri yang bisa membahayakan kita.” Ah, kata-katanya selalu biijak, selalu membuatku ternganga mendengar pemisalannya itu.
“Hei, namamu kan Mawar, apa kau tidak membahayakan? Hehe..” candaku. “Haha, benar juga, entahlah apa alasan orangtuaku memberi nama Mawar, yang mereka tahu hanyalah bahwa mawar itu cantik, anggun, harum, yang baik-baik saja. Padahal, menurutku bisa saja aku senasib dengan bunga mawar ini, merepotkan siapa saja yang sudah tertusuk duriku.” Jawabnya lemas, aku bertanya-tanya.Merepotkan? Merepotkan bagaimana? Kau justru adalah seseorang yang membuatku beruntung, kata-kata bijakmu selalu membuatku termenung, merasa kau begitu hebat, maksudku, imajinasimu, begitu luas dan selalu spektakuler.

Mawar memegang kepalanya, seperti orang yang sedang kesakitan “Mawar kau tidak apa-apa?” tanyaku panik. “Haha, aku tidak apa-apa, hanya pusing biasa hanya saja aku berlebihan mengekspresikannya, hehe..” ia tersenyum kecil. “Aku ke kamar mandi dulu ya, pengen buang air..” lanjutnya. Aku hanya mengangguk pelan. Aku mengerutkan kening saat melihat ia berjalan sempoyongan, seperti hilang keseimbangan.
“Apa?Menginap di rumahmu? Ah, aku tidak mau Tiffany,, aku takut merepotkan” aku memelas,, “Sudah ku bilang tidak ya tidak, keputusanku sudah bulat.” Ah, cape aku terus bolak-balik di hadapannya, memelas seperti pengemis yang minta makan. “Ayolah Mawar,, malam ini saja, kau tak akan merepotkan, justru aku senang, Mamaku juga pasti akan senang, yah? Kamu mau kan? Kau tau kan aku anak tunggal, jadi aku kesepian di rumah.” aku menatap Mawar penuh pengharapan. Mawar menatapku sekejap lalu menggelengkan kepalanya.Aku mendesah, “Ah, Mawar, kau tega sekali menolak tawaranku, apa aku harus berteriak di speaker sekolah untuk mengajakmu menginap di rumahku?” “Ah, kau jangan bertingkah konyol Tiffany, ya sudah, malam ini aku menginap di rumahmu..” aku melonjak girang “Nah, gitu dong, kenapa kau tidak bilang itu dari tadi?” Mawar hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkahku yang sepeti anak kecil diberi izin membeli ice cream oleh Ibunya.

Mawar, tak henti-hentinya menatap seisi rumahku, memegang benda-benda antik yang terpajang di sepanjang jalan menuju kamarku. Ia terlihat begitu terpesona, tak mampu berkata-kata. Bahkan, saat aku memanggilnya pun, ia sepertinya tak mendengar. “Mawar, Mawar, Mawar, kamarnya di sini hey ?!!” Mawar terkejut, “Astagfirulloh, maafkan aku Fan, aku tidak konsentrasi..” aku hanya tersenyum ‘”Tidak apa-apa, ayo masuk,,”
‘Wah……… Tiffany, ruangan kamarmu ini sama dengan rumahku, ukh..kamarmu bagaikan rumahku,,” Mawar memuji kamarku sambil memandang setiap sudut ruangan. ‘Ah, tidak, biasa saja. Nanti, kau tidur denganku di sini, kalau kau butuh apa-apa tinggal bilang saja ya,,” Mawar mengangguk. “Ini, apa isinya Mawar? Keluarkan saja ya, biar disimpan di mejaku agar mudah membawanya..”Mawar dengan cepat mencegah. “Jangan!!” ia merebut tas kecil itu dari tanganku. Aku terheran, “Memang apa isinya? Wah, jangan-jangan ini bom yaa?? Haha..” “Haha, ini memang bukan bom, tapi jika kau membukanya, hatimu akan meledak,hehe” ucapnya. “Wah, benarkah? Aku jadi penasaran, apa sih isinya??” tanyaku.“Bukan apa-apa Fan, aku bercanda.Sudahlah, ayo kita mau bermain apa sekarang?”

Ketika malam datang bersama berjuta pesonanya, Mawar duduk bersamaku menyaksikan parade malam yang bersahaja. Sang raja malam dengan bangganya menampilkan pantulan sinar dari mentari yang mampu menjadi penerang malam. Tak lupa di sekelilingnya juga selalu hadir sekelompok titik yang berkerlap-kerlip menghiasi kelamnya langit malam. Senang rasanya bisa menghabiskan waktu malam bersama sahabatku tercinta.
“Tiffany,?” suara Mawar memecah keheningan. Aku menoleh. “Apa kau takut dengan kematian?”pertanyaan Mawar berhasil membuat bulu kudukku merinding. Siapa coba yang tidak takut dengan kematian? Mungkin semua orang takut.Itu menurutku.Tapi, aku yakin Mawar punya pendapat yang lebih spektakuler untuk hal ini. “Kematian , semua orang pasti akan mengalaminya, tapi sulit dipungkiri, aku memang takut dengan kematian..” Mawar tersenyum tipis.“Apakah manusia hidup hanya untuk bersuka-duka? Apakah setelah mati itu ia akan hilang menguap seperti halnya api obor yang padam? Tentu tidak, manusia akan tetap ada dan tidak akan menghilang atau menguap. Manusia akan menjalani kehidupan yang abadi di akhirat.” Aku tertegun, aliran darahku tertahan, jantungku mati, tertunduk, merenung…
“Jangan pernah takut dengan kematian, karena kita tidak akan mati, kita mati itu untuk hidup kembali. Dan tak akan ada kematian setelah itu. Kita hanya tinggal memilih di antara dua tempat tinggal yang akan kita tempati. Surga, dan neraka. Surga itu bagaikan hotel mewah yang mahal untuk ditempati di dunia ini dan neraka kau bisa menempatinya tanpa menggunakan apapun, cukup dengan kesalahanmu, tapi apa kamu rela tubuhmu disiksa di sana?.Hanya bedanya kita membayarnya bukan dengan uang, melainkan dengan amal kita.”
Mulutku terkunci, diam seribu bahasa, aku mengerti, apa yang ia maksud. Mawar, gadis yang benar-benar cerdas, selalu melihat ke depan, selalu membawaku pada sebuah gambaran masa depan. Mawar tersenyum, “Selama waktumu masih panjang, buat apa berputus asa? Perbanyaklah berbuat kebajikan,Menabunglah sebanyak-banyaknya..”

Saat malam hening menyelimuti kota, dan saat semua umat tengah menikmati bunga tidurnya, Mawar, gadis bersahaja itu masih terjaga. Ia , dengan seluruh raganya mengahadap pada Sang Khalik, melantunkan ayat-ayat suci Illahi, memanjatkan segala doanya, di tengah heningnya malam , membisikkan kalimat-kalimat lirih, “Tuhan, ampuni dosa-dosa hamba-Mu yang tak berdaya ini. Entah sudah brapa banyak dosa yang kuperbuat. Sungguh, jika aku menghitungnya aku tak akan sanggup.Selama Engkau masih mengizinkanku untuk menghirup udara di bumi ini, selama Engkau masih mengizinkan jantungku berdetak, aku akan menghabiskan sisa umurku untuk mengabdi pada-Mu.” Butiran-butiran air mata mengalir membasahi pipi Mawar.

Pagi beranjak meninggi .kabut menyelimuti kota. Burung-burung dengan suara merdunya siap menyambut pagi ini dengan nyanyian syahdunya. Mawar menelisik telingaku, berusaha membangunkanku, “Tiffany, hey,, ayo cepat bangun, kamu belum sholat shubuh ya?” aku terperanjat “Astagfirulloh, iya aku lupa ..” aku segera bangkit dari tempat tidur dan langsung menghampiri kamar mandi.
Mawar menyisir rambutnya yang lebat, panjang dan hitam.Bagaikan bintang iklan shampoo terkenal di TV. Aku mempehatikannya dari kejauhan.Tiba-tiba di tangan Mawar, terdapat rambut-rambutnya yang rontok. Aku menghampiri.“Mawar rambutmu rontok??”Mawar terperanjat, padahal aku tidak mengejutkannya. “Euh,, ii..iya niih,, harusnya aku pakai shampoo apa ya ? “ aku memperhatikan rambutnya, “Mawar, ini bukann rontok, rambutmu banyak yang Jatuh, “ Aku menatap Mata Mawar lekat-lekat. “Kamu kenapa Mawar?”Mawar menatapku tegang.Suasana hening sejenak. “Haha, masa sih, enggak ah, biasa aja deh Tiffany, jangan buat aku panik, gak seru ah !”Mawar cengengesan.Kali ini, Mawar, kurasa dia bukan tertawa, dia terlihat pucat pasi.

Aku mengusap hidung Mawar, dan memperlihatkannya pada Mawar. “Ma..Mawa..rr.. jujur !!apa kau baik-baik saja ??” Suaraku bergetar, letih, melihat Mawar. Hidungnya mengeluarkan darah, dan ia masih berusaha tersenyum. Ia menutup hidungnya, dan berlari ke kamar mandi, tangannya gemetar membersihkan darah yang keluar dari lubang hidungnya. Matanya berkaca-kaca berkali-kali ia mengusap-usap hidungnya. “Mawar…” aku memegang pundaknya.Mawar terisak. “Mawar..” aku memanggilnya untuk kedua kalinya. Mawar tetap terisak.Air matanya bercucuran. “Mawar jawab aku !apa kau baik-baik saja?” suasana hening “Mawar !!!!” aku ikut terisak “Mawar memelukku erat, menumpahkan air mataya di pundakku. “Ti..Tiffany,, maaf,, maafkan aku..” ucapnya lirih. “Untuk apa Mawar??” aku mengusap air matanya,, darah segar masih mengalir dari hidung Mawar. “Aku, aku sakit Tiffany,” Tumpah. Tumpah sudah air mataku

Langkahku tertahan ketika melihat ruangan yang penuh dengan peralatan medis. Selang infus, belalai-belalai plastik, layar betuliskan garis-garis hijau, tabung oksigen dan alat-alat bantu lainnya. Kakiku begetar menatap tubuh lemah Mawar yang berbaring di atas kasur tipis itu. Bersitatap dengan matanya, membuat hatiku kian menciut.
“Tifanny,” bisiknya. Aku mendekat, memegang tangannya yang terasa begitu dingin. Mawar tersenyum. Lihatlah, di saat-saat seperti ini ia masih mampu tesenyum. Mataku berkaca-kaca. “Kau tak perlu menatapku seperti itu Fan, aku baik-baik saja..” “Baik-baik saja bagaimana Mawar,,?? Kau kira, peralatan yang kini terhubung di tubuhmu itu adalah alat biasa? Kau kira, tempat ini untuk orang-orang yang baik-baik saja?” Mawar terdiam. “Dengarkan aku Tiffany, kau tak perlu menitikkan air mata, esok aku pasti bisa bermain bersamamu lagi, mengejekmu untuk ke sekian kalinya, karena temanmu buku-buku itu, tentang duniamu yang sempit.” Aku memilih untuk diam. Mawar menatapku lagi. “Sudah kubilang, jangan pernah takut dengan kematian..”Aku terkesiap. Kematian? kematian lagi? Aku takut. “Tiffany, tersenyumlah..” aku berusaha menampilkan senyuman terbaikku. Demi Mawar. “Aku bawakan makanan untukmu, dimakan yaaa..” Mawar mengagguk.
“Kapan kau akan mencoba memperluas duniamu?”Mawar tiba-tiba bertanya ketika aku tengah melamun di samping tempat tidurnya.“Euhh… maksudmu?”Mawar tersenyum tipis.“Masa kau tidak mengerti? Jangan pura-pura bodoh, kan setiap waktu kau selalu membaca buku, jangan-jangan setiap makanpun kamu memakan buku, haha…” Mawar tertawa.Tertawa lepas. Seperti tak ada beban di hidupnya.“Ah, kau ini selalu mengejekku. Iihat saja nanti aku akan memperluas duniaku, seperti yang kau inginkan , temanku banyak, bukan hanya buku, dan duniaku tak sesempit yang kau kira..” Mawar tersenyum “asalkan kau harus sembuh dari penyakitmu ini “ lanjutku. “Ah. Tiffany, hidupmu itu penuh dengan syarat .belajarlah ikhlas melakukan hal sekecil apapun.” Aku tertunduk.“Masihkah kau ingin mengelilingi dunia?” tanyaku tiba-tiba. “Tentu saja..” jawabnya pasti.

Pagi tak menampakkan keelokannya. Mendung menyelimuti kota. Matahari bersembunyi di balik awan hitam. Mawar terduduk lesu tak berdaya di sebuah kursi roda. Ia bilang esok akan bermain bersamaku lagi, mengejekku lagi. Tapi apa yang kini ia alami? Aku tak pernah menyangka. Dengan wajah yang dulu putih bersih, halus, dan Nampak segar, kini terlihat pucat pasi, dan tak berwarna. Rambutnya, yang dulu terurai pannjang, hitam dan lebat, kini, hilang terbuang yang ada hanya kepalanya yang botak. Mawar, gadis cantik itu, yang mengaku ia akan mencapai cita-citanya mengelilingi dunia, menyapa setiap makhluk di muka bumi ini, yang selalu tersenyum dengan segala hal yang terjadi. Setelah dokter mengatakan penyakit yang dideritanya, ia tak pernah memudarkan senyumnya, tetap abadi sejelek apapun dirinya kini, senyumnya tak pernah luput menghiasi.
“Air mata itu tidak akan merubah nasib, ia hanya mewakili perasaan kita. Saat kita sedih, pasti ia keluar dari mata kita. Apakah dia membantu kita untuk kembali tersenyum? Tidak, semuanya tergantung hati kita, kalau kita berusaha untuk tegar, air mata tak akan mampu membasahi pipi kita..” kata-kata Mawar membuatku bangkit, menghapus air mataku yang tak henti mengalir. Aku menatap Mawar yang duduk dengan kursi rodanya. Aku selalu tak kuat melihat raganya, selalu mengundang air mata.“Tiffany, kau harus janji padaku, kau harus jadi orang yang tegar, selama waktumu masih panjang, aku titipkan cita-citaku untukmu sebagai wujud kasih sayangku padamu. Kau punya buku, dan segalanya, cobalah jelajahi dunia, untuk menggapai impianmu. ”Aku menganggik-angguk paham.

Mawar memegang kepala botaknya. Tuhan, tolong jangan sekarang Tuhan..mawar memegang tanganku erat sampai urat-uratnya jelas terlihat. Darah keluar dari hidungnya, nafasnya sesak. Tuhan, tegakah Kau merebut kebahagiaannya, kurang baik apa Mawar? Mengapa Kau sampaikan cobaan yang begitu menyiksanya? Apakah ini balasan-Mu terhadap orang-orang sabar?.Aku berusaha menenangkan Mawar, berteriak memanggil dokter. Dengan cepat, suster membawa Mawar dan membaringkannya ke tempat tidur.
Dokter bersiap dengan baju dan maskernya. Suster-suster telah siaga mendampingi dokter, kalau-kalau ia butuh bantuan. Lampu dinyalakan, dokter membuka kedua mata Mawar satu per satu. Memeriksa keadaan tubuh Mawar. Peluh mulai membasahi dahi dokter itu.

Aku dengan sejuta bimbangku tak bisa diam di luar ruangan.Satu menit duduk, setelah itu berdiri, mondar-mandir, mengepalkan-ngepalkan tangan.Peluhku tak henti bercucuran, kata-kata Mawar terus terngiang-ngiang di pikiranku.Senyumannya hadir di pelupuk mataku. Tak ada orang yang menyayangiku lebih daripada Mawar, ia bagaikan Ibuku yang selalu memberiku jalan pintas ketika aku tersesat. Nasihatnya mampu menyihir qalbu dan memotivasi segala perilaku.Tuhan, jangan ambil dia. Izinkan dia hidup di dunia ini untuk mencapai cita-citanya.

Aku berusaha mengintip dari luar , aku lihat dokter menggeleng-gelengkan kepalanya. Jangan sampai, jangan sampai terjadi, jangan sampai.Bibirku bergetar, memanjatkan segala do’a.suster itu mencabut selang infus Mawar, dan segala peralatan yang melilit tubuhnya. Aku semakin terpuruk, Tuhan tak maukah Engkau membantuku? Kali ini, saja.Wajahnya semakin pucat. Kakiku bagai disambar petir melihat dadanya kini ia tak terlihat bernafas lagi. Remuk jantungku melihat dokter itu menarik selimut sampai ke ujung kepala Mawar hingga seluruh tubuhnya tertutupi.Kakiku lemas, aku terduduk tak berdaya.

Di bawah batu nisan ini, kau telah sandarkan kasih sayangmu yang begitu dalam, berjuta mimpimu, tingginya anganmu dan spektakulernya asamu. Ternyata, duniamu tak seluas yang kau pikirkan. Mawar, apa kau masih merasa duniamu luas? Mengapa kau tega meninggalkan impianmu untuk mengelilingi dunia? Butiran-butiran air mata turun, membasahi pipiku.
“Mengapa selama ini kau tak pernah mengeluh atas penyakitmu? Mengapa ???” aku memukul-mukul gundukan tanah yang bertabur bunga di hadapanku. “Mengapa kau tak pernah bilang akan meninggalkanku secepat itu? Kau terlalu baik Mawar, keterlaluan. Berapa banyak orang baik di dunia ini?? Tidak banyak Mawar….” Aku mengusap batu nisan yang bertuliskan nama Mawar. Mataku sembap.Langit, pepohonan, dan makam-makam di sekitarku mejadi saksi tumpahnya air mataku.
Sungguh kematian yang mulia. Mawar pergi meninggalkan sekapur sirihnya untukku. Entah, berapa besar pahala yang Tuhan berikan karena ia telah memotivasiku untuk menjadi lebih baik. Aku sadar, dunianya memang luas. Aku yakin, amalnya pasti berhasil membuka kunci pintu surga Illahi.

Kado berhiaskan pita biru itu berselimut debu. Perlahan debu itu berterbangan tertiup angin. Ia menggigil, tercampakkan sentuhan hangat. Tak sampai pada pemiliknya, yang kini tengah menjalani perjalanan hidup keduanya. Kado berhiaskan pita biru itu. Tertunduk, kaku.

Labels: , ,