Barnia Khatulistiwa - Cerpen Cinta

BARNIA KHATULISTIWA
Karya Moddi Madiana

Putaran roda motor bebek tua mengantar penunggangnya menembus keramaian kota, berkelok diantara kendaraan lain, sesekali terhenti karena macet. Sudah tak heran bila harus menyelinap dan menyilang kendaraan lain. Saat memasuki jalan menuju kampus yang rimbun oleh pohon-pohon tinggi dan berdaun lebat laju motor berkurang. Merasa telah terbebas dari kemungkinan terjebak macet dan memang hari ini tidak ada jadwal kuliah,hanya saja harus bertemu pembimbing untuk menyelesaikan tugas akhir kuliahnya.

Barnia,mahasiswi senirupa semester akhir dengan penampilan yang biasa sangat nyaman untuk mengantar aktivitas kesehariannya. Sepatu kelinci berwarna dengan kaos kaki pendek melengkapi rok lipatan payung dan jaket katun membungkus kaos yang dipakainya. Tak sedikit yang mengenalnya,bukan karena parasnya yang enak dipandang tapi keramahan kepada setiap orang membuat ia menjadi harapan untuk selalu hadir dalam lingkungannya.

Barnia Khatulistiwa
Orangnya rame,senang bergaul tapi tidak centil. ia seperti tak pernah kehabisan akal untuk mengimbangi teman-temannya dalam berceritra apalagi kalau sudah bercerita tentang keasyikannya pameran hasil karyanya. Termasuk berbagai kelakuan para pengunjung pameran yang sengaja ingin ketemu dan bertanya berbagai hal kepada pekaryanya. Dengan senang hati Barnia berbagi pengalamannya dengan mahasiswa junior baik dalam menjalani kuliah maupun dalam melakukan pameran karyanya. Memang termasuk mahasiswi yang rajin,pintar dan sangat kreatif dalam menciptakan karya-karya seni, selalu saja memiliki kelebihan dari rekan-rekannya. Tak heran apabila disetiap kesempatan baik berpameran maupun diskusi tentang dunia senirupa Barnia sering mendapat pujian. Ia tidak hanya cantik dan mampu menciptakan karya-kara seni yang selalu baru tapi iapun memiliki kepandaian dalam memberikan pendapat serta pandangannya.

Dalam perkuliahannya ia dapat mendahului teman-teman seangkatan termasuk beberapa orang mahasiswa seniornya, Karena sikap, kepandaian serta kecantikannya tak sedikit mahasiswa termasuk dosen yang masih lajang mencoba mendekati untuk merebut perhatian. Namun bagi Barnia semua itu belum menjadi pemikirannya dan selalu dijawab dengan senyuman penuh keakraban. Keakraban yang mendasari sikap Barnia dalam menghadapi perhatian laki-laki termasuk terhadap laki-laki yang langsung menyatakan perasaan cintanya. Sikap penolakan yang halus selalu terbungkus alasan-alasan yang tak terpatahkan. Seperti hari ini,ia sedang mengkonsultasikan tugas akhirnya, Barnia sangat berharap tidak banyak yang harus diperbaiki. Ketegangan mewarnai raut wajahnya saat menyimak lembar demi lembar yang dengan teliti diperiksa dosen pembimbing. Semua lampiran gambar dan photo yang menjadi objek penelitiannya harus dijelaskan secara lengkap, Dari mulai jenis,bentuk dan komposisi warnanya.

1
Terlebih lebih nilai filosofi yang terkandung didalamnya. Sehingga makna dan fungsi dari objek penelitiannya dapat dipertanggungjawabkan secara akademis.
Ketegangan Barnia tak terobati oleh gaya pembimbingnya yang selalu ramah,sesekali diselingi pertanyaan-pertanyaan yang mengelitik, padahal samasekali tidak ada hubungannya dengan materi penelitiannya. Barnia sadar celotehan dosen pembimbing hanya untuk mencairkan suasana agar tidak kaku karena pertemuan hari ini bukan ujian tapi konsultasi, semata-mata untuk penajaman dan penyempurnaan laporan baik secara redaksional maupun kajian materinya. Selama Barnia melakukan penelitian ke berbagai daerah pengrajin batik. Ia telaten dalam memperdalam proses pembuatan Batik . Tanpa mengganggu nilai-nilai tradisi dari motifnya sedikit-sedikit memberikan tekhnik pemeliharaan alat dan cara penggunaan alat sehingga tarikan-tarikan garis dan tampilan titik termasuk pewarnaan dapat terlihat lebih variatif dan rapih, sehingga karya batik memiliki hasil yang lebih baik dan karenanya bukan tidak mungkin akan memiliki nilai jual yang tinggi.
Itu misi yang dimiliki oleh Barnia dalam penelitiannya, bukan sekedar membukukan batik seadanya tapi ia berkeinginan keras untuk memberikan sentuhan-sentuhan teknologi modern yang selalu tampil menarik tak tertinggal jaman. Tak ketinggalan berusaha untuk menerobos penilaian terhadap para pengrajin yang selama ini hanya dianggap sebagai pekerja yang cukup mendapatkan upah tak seberapa. Ia ingin menambahkan popularitas batik juga menjadi kebanggaan pengrajinnya secara ekonomis.

Tak sedikit tantangan yang menghadang baik dari para pengusaha batik maupun dari pembimbingnya. Yang lebih menggelitik hatinya adalah kepolosan para pengrajin, mereka selalu menerima apa adanya sebagai kuli walau tak sedikit resiko yang dapat mengganggu kesehatannya karena aroma bahan bahan membatik yang menyengat.
“ Kalau penelitianmu menjadi alasan untuk memberikan peningkatan tekhnik membatik,baik variasi motif atau kerapihan dalam penggarapannya cukup beralasan tapi saya belum dapat sepaham dengan pendapatmu mengenai peningkatan penghasilan pembatik. Soal penghasilan secara komersial dapat dicapai dengan kemampuan seberapa jauh pembatik dapat menyelesaikan dalam jumlah yang banyak ”.
“ Benar Pak, semua karya seni termasuk batik merupakan potensi budaya yang bersifat tradisional namun menurut saya selain batik itu merupakan seni murni tapi pada akhirnya batikpun merupakan seni pakai ”.
“Beri saya alasan yang rasional dari pendapatmu dari kedua sifat tersebut ”
Tanpa ragu-ragu Barnia menjelaskan pendapatnya dengan alasan bahwa sifat seni murni berada saat proses pembuatan hingga selesai, selama itu pembatik khususnya batik tulis memiliki ruang yang luas dalam mengekspresikan rasa berkeseniannya. Terlebih-lebih bila batik yang dihasilkan hanya menjadi hiasan atau asesoris dari kepentingan interior baik

2
Batik tulis maupun batik cetak maka karya seni batik tersebut bersifat seni murni karena hanya menjadi objek penikmatan keindahannya.

Sedangkan batik akan mengalami perubahan sifat apabila telah digunakan menjadi bagian dari asesoris penampilan manusia berbentuk busana. Disitulah sifat seni murni dari batik berubah menjadi seni pakai dan mulai saat itu pula kemurnian dari seni batik telah hilang disamping telah menjadi pakaian,iapun telah terpenjara dengan aneka ragam mode yang diinginkan oleh perancang busana.
” Saya kira,penjelasanmu sudah memberikan gambaran dari penelitianmu tentang karya seni Batik dan membuktikan batik tidak saja sebagai seni yang terkungkung oleh adat dalam satu peradaban atau lingkungan tertentu saja tapi batik sudah memiliki ruang yang sangat luas tanpa batas. Itu sudah memenuhi kajian dari permasalahan. Sementara hal-hal yang berkaitan dengan bagaimana peningkatan penghasilan pengrajin batik bukan kajian kita sebagai calon sarjana dibidang seni, itu akan menjadi ranah para mahasiswa lain yang mempelajari disiplin ilmu sosial ekonomi ”
“ Maaf Pak, kiranya tidak salah bila saya tidak sepaham dengan Bapak ”
“ Maksudmu ? ”
“ Memang benar disiplin ilmu yang saya pelajari adalah Senirupa dan saya meneliti tentang seni batik. Apakah salah bila saya ingin memiliki pendapat bahwa seorang sarjana seni adalah orang yang harus mengetahui dan memahami dari mana ,bagaimana dan oleh siapa karya seni itu dilahirkan sehingga kini dengan sangat mudah untuk dinikmati dan dimanfaatkan. Apa berlebihan bila saya mencoba memanfaatkan kesempatan untuk berterima kasih kepada para pengrajin batik sebagai pelaku budaya tanpa dipandang sebelah mata dan tidak hanya dianggap sebagai bagian terkecil dari sebuah industri yang menjual keunggulan nilai seninya semata tanpa memperhatikan peningkatan tarap kehidupannya ” jelas Riri dengan tenang dan Dosen pembimbingnya hanya manggut-manggut tanpa komentar,karena sudah sangat mengenal kepribadian mahasiswinya yang satu ini.
Koridor yang menghubungkan satu ruangan dengan ruangan lainnya Barnia lalui dengan perasaan yang belum mencair,ia ingin mempertahankan bahwa kajian kesejahteraan para pengrajin batik perlu dibahas dalam laporan tugas akhirnya,sampai kapanpun akan dipertahankan. Segelas air teh hangat di kantin kampus mengingatkan Barnia pada Popo, seorang pemuda yang diam-diam mempunyai pemikiran untuk meningkatkan kesejahteraan para pengrajin batik.Dari obrolan singkat dengan Popo ia tersadarkan bahwa dibalik keantikan batik yang mendunia tersimpan kehidupan yang sungguh memprihatinkan.
Diantara barisan rumah rumah pengrajin batik ada sebuah rumah yang cukup besar dikelilingi pohon buah-buahan. Disana tidak ada aktivitas membatik yang Nampak kesibukan masyarakat yang kebanyakan laki-laki membuat kas kayu tempat buah-buahan.

3
Rumah besar itu sering dikunjungi banyak orang,malah tak jarang mobil-mobil dari kota keluar masuk. Yang lebih herannya lagi sekali waktu anak-anak muda yang katanya para mahasiswa melakukan penelitian. Siapakah pemilik rumah itu dan apa kegiatannya, sehingga menjadi objek penelitian. Seorang ahli pertanian atau siapakah dia. Ingin sekali Barnia masuk kelingkungan itu,tapi apa keperluannya.
Buah-buah jeruk yang ranum sedang dibersihakn dari kotoran debu dan dipilih menurut besarannya. Pekerjaan memetik, mengangkut, membersihkan, memilih dan memasukan dalam setiap kas kayu dilakukan masing-masing oleh pekerja yang sebelumnya sudah ditunjuk oleh Popo, termasuk orang yang bertugas mengantar ke pelanggan di kota.
Sementara Popo sedang mempelajari pengiriman barang dan bayaran yang masuk serta siap untuk membayar gaji pekerja. Urusan administrasi keuangan Popo dibantu oleh seorang pegawai perempuan, seorang anak dari pengrajin batik yang tidak dapat meneruskan sekolah setelah lulus dari SMK jurusan akuntansi. Tapi setelah lama ikut membantu Popo ia bisa meneruskan kuliah selepas jam dua siang di Perguruan Tinggi swasta Jurusan Akuntansi yang berada di kota tak jauh dari Kampung Batik. Tak sedikit anak-anak muda putus sekolah menjadi pekerja di kebun Popo dan dapat kembali meraih kesempatan bersekolah melalui program PKBM yang diselenggarakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten.

Barnia merasa heran setiap melakukan kunjungan ke rumah pengrajin batik,pasti saja ia disuguhi buah-buahan segar, padahal Barnia tahu mereka tak memiliki kebun buah-buah dari segala jenis.
“ Maaf Bu, setiap saya bertamu kerumah para pengrajin batik selalu disuguhi buah-buahan segar, apa mereka juga memiliki kebun ” tanya Barnia kepada Bu Retno yang menjadi Induk semang selama ini.
“ Mana mungkin Jeng kami memiliki kebun buah-buahan sebagus itu, buah-buahan itu kami terima dari Den Popo. Karena setiap panen buah apa saja penduduk disini mendapat kiriman sebelum buah-buahan itu dijual kekota ” jawab Bu Retno.
“ Loh..aneh, apa Den Popo itu nggak rugi membagikan hasil panennya sebelum dijual, apa memamng hasil panennya banyak ” kembali Barnia bertanya
“ Tidak tahu tuh…. Tapi menurut Den Popo kalau kita ingin memberi jangan dari sisa tapi harus didahulukan baru sisanya untuk dijual. Ibu juga aneh ” jawab Bu Retno.
“ Enak yah Bu kita selalu mendapatkan buah segar ”
“ Ya enak tapi juga malu ”
“ Kenapa harus malu, bukankah untuk mendapatkan buah segar semacam ini kita harus membeli, inikan gratis “ seloroh Barnia

4
“ Malu….. karena tak seharusnya kami mendapat penghormatan dari Den Popo seperti ini ”
“ Kita patut bersyukur dijaman seperti saat ini masih ada seorang bangsawan yang rendah hati ”
“ Den Popo bukan seorang bangsawan ”
“ Loh masyarakat disini semua menyebutnya dengan sebutan Den, apa itu bukan gelar bagi seorang bangsawan ? ” Tanya Barnia heran
“ Den Popo orang biasa, hidupnya sederhana. Tak jarang dia berkeliling bersilaturahmi dengan kami. Orangnya memang pendiam tak banyak bicara tapi sangat santun apalagi kepada orang tua,termasuk kalau mengirim buah-buah hasil panen, Den Popo selalu mengirimkannya sendiri ”

Mendengar ceritra Bu Retno, Barnia semakin penasaran ingin tahu orang yang disebut Den Popo, begitu dihormati,begitu dikagumi. Seperti apakah dia. Kapan bisa bertemu. Bu Retno mengerti apa yang sedang menjadi pikiran Barnia.
“ Kebetulan nanti sore Ibu akan memberikan kain batik pesanan Den Popo, kita sama-sama ke rumahnya, nanti Jeng Barnia akan tahu Den Popo yang sebenarnya ” jelas Bu Retno.
Diwajah Barnia tersirat kebahagia, akhirnya bisa juga bertamu ke rumah Popo, untuk Bu Retno akan mengantarkan kain batik pesanan Popo. Selepas shalat Ashar Barnia dan Bu Retno menuju rumah Popo yang tidak terlalu jauh jaraknya.

Seorang laki-laki berbadan tegap, lengan yang kekar menandakan sebagai pekerja yang aktif, dengan sangat santun menerima kehadiran Bu Retno dan Barnia. Rumah tua dengan konstruksi Joglo terbuat dari kayu jati tertata rapih, seluruh asesoris kain terbuat dari bahan batik dengan motif yang variatif. Keseluruhannya menunjukkan sebuah keluhuran sikap.
“ Ini Den, kain batik pesanan sudah selesai ” Bu Retno menyerahkan bungkusan kain batik.
“ Loh….padahal biar saja nanti saya ambil sendiri, jadi merepotkan ” jawab Popo
“ Sekalian, ini Jeng Barnia ingin kenal dengan Den Popo ” kata Bu Retno dan Barnia tersenyum malu.
“ Ooohhh….Selama datang, selamat bertemu, Nama saya Popo ” sambil menyalami Barnia.
“ Terima kasih, saya Barnia, Barnia Khatulistiwa ” jawab Barnia
Dengan keramahannya Popo mempersilahkan kedua tamunya untuk meminum teh manis hangat dan mencicipi buah-buahan yang disajikannya sendiri. Ibu Retno menjelaskan keberadaan Barnia di Kampung Batik, untuk sementara penelitian Barnia tinggal bersama Bu Retno.

5
Selanjutnya Popo mengajak tamunya berkeliling halaman rumah yang dipenuhi pohon-pohon produktif diantara hamparan taman hijau yang luas.
“ Maaf Jeng……eu eu siapa tadi namanya ” tanya Popo
“ Barnia , Barnia Khatulistiwa ” jawab Barnia.
“ Sebuah nama yang sangat historia ” sambil tersenyum
“ Nama itu pemberian Orangtua saya ”
“ Dari namanya Jeng Barnia bukan kelahiran Pulau Jawa. Pemberi nama indah itu sangat terpuji dan haturkan salam hormat saya untuk beliau berdua ”
“ Saya dilahirkan saat kedua orangtua saya bertugas di pedalaman Pulau Kalimantan dan pada usia dua tahun orangtua saya dialihkan pekerjaannya ke Pulau Jawa ”
“ Semoga nama yang indah itu menjadi gambaran dari luasnya pandangan Jeng Barnia sebagaimana luasnya pulau Borneo dan menjadi pembatas dari berbagai pilihan sebagaimana Khatulistiwa menjadi batas dari segalanya. Saya sudah lama mendengar kedatangan Jeng Barnia di Kampung Batik ini, tapi maaf saya belum sempat menyambut malah kini Jeng Barnia yang lebih dulu bertamu ke rumah saya ”
“ Semoga saja Den, terima kasih atas do’anya ”
“ Jangan sebut Den, biasa saja, sebut saja Popo, sebutan Den bagi saya tidak layak ”
“ Tapi semua penduduk disini menyebut Den Popo dan itu sudah menjadi kebanggaan masyarakat “

Banyak sekali yang dibicarakan selama mereka mengelilingi halaman rumah Popo, setiap pohon buah yang dilalui selalu dijelaskan mulai dari penanaman, pemeliharaan dan saat panen. Barnia merasa tertarik dengan cara Popo berbicara, Barnia ingat kepada para dosen disaat memberikan perkuliahan. Penjelasannya sistematis sekali. Pantas kalau ceritra masyarakat menggambarkan seorang Popo sebagai anutan yang penuh dengan ketauladanan.
“ Jeng Barnia, saya berterima kasih karena Jeng Barnia mau berada di lingkungan pengrajin batik, mereka sangat terbantu dalam membatik ” Kata Popo saat bertemu Barnia di tempat salah seorang pengrajin batik.
“ Justru saya Mas yang harus berterima kasih, dari mereka saya mendapatkan banyak ilmu. Saya dan teman-teman penikmat batik tanpa pernah mencoba untuk mengetahui apalagi memahami bagaimana batik dihasilkan ” Jawab Barnia
“ Sebelumnya mereka melakukannya secara alami saja,pokoknya membatik itu begitu saja seperti yang mereka ketahui secara turun menurun. Motifnya sangat terbatas tanpa variasi lain karena mereka terkungkung oleh adat lingkungan yang sangat terbatas pula ”. lanjut Popo.

6
“ Benar Mas, dulu kan yang sangat panatik dengan batik hanya lingkungan ningrat sehingga motif yang dipakai selalu disesuaikan dengan perhitungan-perhitungan adat seperti usia pemakai, derajat dan untuk acara apa.
Hal itu memposisikan batik sebagai sesuatu yang sakral walaupun dalam perkembangannya sangat membatasi kreativitas untuk membuat motif baru ”
“ Kehadiran Jeng Barnia dapat membuka kemungkinan adanya jaminan untuk mempertahankan nilai-nilai batik tradisional yang sakral tadi dan melahirkan batik secara terbuka dalam memenuhi selera masyarakat luas ”.
Ungkapan Popo menjadi bahan pemikiran bagi Barnia, penelitian ini tidak sekedar melaporkan adanya seni batik yang dikemas dalam sebuah laporan akhir tapi ada tantangan harus mampu mengantarkan para pengrajin untuk berkeinginan dalam meningkatkan kraetifitasnya.
Lama kelamaan pertemuan sering terjadi dan pembicaraanpun melebar tidak hanya membicarakan tentang batik tetapi hal-hal lain dan sudah mulai masuk kearah pribadi masing-masing. Bila dilihat secara penampilan sungguh sangat jauh berbeda antara Barnia yang rame dan Popo yang kalem.

Seperti pada satu hari sepulang mengunjungi salah seorang pengrajin batik mereka berdua menyusuri jalan yang di kedua sisinya membentang sawah yang mulai menguning. Angin menerpa rambut Barnia, sesekali menutupi wajahnya berulang-ulang tangan Barnia membereskannya dan Popo hanya melirik sambil tersenyum.
“ Enak ya Mas, linkungannya masih asri, bersih ” Tanya Barnia sambil merentangkan kedua tangannya dan kembali angin meniup rambutnya semakin tergerai.
“ Alam seperti ini harus selalu dipelihara karena akan memberikan kesegaran,ketentraman, damai tanpa kebisingan walaupun akan terkesan seperti tak tersentuh kemajuan ” jawab Popo datar
“ Kemajuan tidak hanya tersimpan dalam bentuk perubahan fisik semata tapi yang lebih penting masyarakat di sekitarnya memiliki dan memilihara kemampuan serta semangat untuk berkembang. Minimal pola pikir, karena kehidupan tak boleh terhenti ” sambung Barnia yang menunggu komentar Popo tapi tak sepatah katapun terdengar. Hanya senyuman seperti biasa.
Barnia terhenyak dari lamunannya, ia terkesima saat merasa rindu pada orang-orang yang selamanya ini banyak membantunya dalam melakukan penelitian tak terkecuali Popo. Entah apa yang membuat Barnia merasakan keakraban. Tapi benarkah itu, apakah hanya perasaan sendiri. Sementara selama itu sikap Popo biasa-biasa saja. Kalau saja Popo seperti laki-laki lain yang suka memperhatikannya dimana ia berada tentu akan lain.

7
Tapi mengapa tak seperti mereka yang berani memperhatikannya. Dibuat dari apakah hati dan perasaan Popo, tidakkah ia tertarik pada Barnia. Terus terang baru kali ini Barnia ingin diperhatikan malah diperlakukan lain dari biasanya. Kenapa keinginan itu muncul setelah bertemu dengan Popo, kenapa tidak muncul saat di kampus atau sebelum-sebelumnya.
Perasaan malu terhadap diri sendiri membangunkan Barnia dari impiannya.Bisakah bertemu lagi dengan Popo, tapi siapa Popo. Akankah Popo merasakan apa yang ia rasakan saat ini. Mungkinkah Popo dapat menjadi laki-laki seperti yang ia inginkan. Telah matikah hati Popo,kalau telah mati bagaimanakah bila berhadapan dengan hati yang baru lahir ini.
Dulu, waktu di daerah pengrajin batik, malam seperti ini ada laki-laki yang menemani,berceritra tentang bintang dan bulan. Berteman semilir angin yang sengaja datang menghampiri. Suaranya, gaya bahasanya atau gelak tawanya mampu menghangatkan situasi. Aaah…. itu yang membuat Barnia terpesona.
Baru sepenggalan malam, Barnia memandangi bulan melalui jendela kamarnya. Membuka buka lembaran tugas akhirnya,terasa ada Popo disampingnya ikut mengomentari kalimat-kalimat yang menjelaskan latar belakang dan perkembangan seni batik, ia selalu nyambung dalam segala pembicaraan termasuk saat menyusun laporan akhir ini. Tak sedikit penulisan laporan akhir ini menggunakan gaya bahasa dari Popo.
Suara nyanyian yang disiarkan di salah satu station TV mengantar lebih jauh bayangan Riri hingga merambah hati Popo…..// jadilah cahaya walau tak tersentuh tetapi selalu menerangi//jadilah angin walau tak berwujud tetapi tetap memberikan kesejukan // jadilah yang kuharap walau tak bersama tetapi selalu hadir dalam do’a// ………….
Ditempat yang jauh di kampung batik, Popo memperhatikan gemerlapnya bintang yang menghiasi langit. Hatinya sepi seperti kehilangan, tapi kehilangan siapa. Telah lama perasaan seperti itu sengaja ditepisnya karena betapa beratnya perasaan seperti itu membelenggu hatinya.
Sudahlah, tak ingin Popo mengingatnya kembali maka ia meninggalkan kota yang pernah menjadi tempat terpautnya hati Popo kepada seorang wanita. Bertahun-tahun Popo memanfaatkan ilmu pertanian yang pernah dipelajarinya untuk mengelola perkebunan dan peternakan serta kolam-kolam ikan milik kakeknya. Keseharian Popo bergelut dengan masyarakat penggarap dan berusaha memberikan tekhnik garapan yang lebih baik termasuk menyiasati perkembangan pasar. Sehingga dalam waktu yang tidak terlalu lama hasil pertanian di daerah itu menjadi lebih baik dari sebelumnya.
Alam telah merebut perhatian Popo,sepertinya tak tersisa ruang dihatinya untuk merasakan keasyikan selain berteman dengan tumbuh-tumbuhan. Namun kenapa sinar bulan malam ini malah menghidupkan sebuah perasaan yang membuatnya tak berdaya, Popo telah lupa harus bagaimana menerima perasaan seperti itu.

8
Akankah menjadi keindahan, mungkinkah akan menjadi pelipur lara yang pernah menerkam hatinya atau akan menjadi wabah bagi ketenangannya. Kenapa harus berjumpa, kenapa harus bersahabat, kenapa harus terkenang semua pertemuan dengan Barnia yang energik,polos dan berani mengungkapkan pendapatnya dalam segala hal. Kenapa begitu singkat pertemuan itu.
Pantaskah untuk disesali, mungkinkah dapat bertemu lagi. Kapan, dimana. Angin malam semakin dingin, daun-daun berselimut embun,bulanpun telah lewat di penghujung malam. Popo kembali ke kamar dan merebahkan diri.
Tirai jendela kamar Barniapun tertutup rapat,lampu kamar berganti warna. Biru sebiru hati menuju peraduan. Malam sunyi di dua kamar yang terpisah jauh, merenda mimpi dalam wajah-wajah yang pulas. Nyanyian malam membungkus haribaan, memanjakan dua hati yang galau, penuh tanya. penuh harap. Suara serangga malam menderik mengisi celah-celah kesunyian, akankah esok semakin elok saat lazuardi terbentang terang. Semoga hati ini sebening pagi seiring hangatnya mentari yang menari ceria.
Sketsa illustratif ukuran besar tergantung di Galeri tempat biasa Barnia mengekspresikan inspirasi berkeseniannya. Berbagai karya seni tersimpan disitu, siang ini Barnia memandangi sketsa illustratifnya yang belum selesai. Gambar wajah laki-laki yang pernah dikenalnya belum lama ini ditatap penuh perhatian. Rambut yang selalu tersisir rapih, tajam sorot matanya, senyuman tipis. Ingin lebih lama memandanginya,ingin lebih jauh mengenalnya.
Dari tatap matanya ingin merasakan tatapan Bapaknya ,tajam tapi tidak menusuk apalagi melukai. Bersinar, menerangi memberi kecerahan. Dari senyuman itu sering menaungi hati dan selalu bertutur bijak. Dari bibir seperti itu pernah terdengar mutiara kehidupan. Bahasanya bersahaja tanpa mendakwa, senantiasa menjadi jalan untuk keluar dan terhindar dari kesulitan hidup. Kata-katanya selalu terangkai dengan indah, selamanya indah.
Masih teringat betapa harmonis rumah tangga Bapak dan Ibunya. Tak pernah berkerut keningnya atau cemberut walau sedikit. Selalu ceria, damai, mesra. Itukah kasih yang dijalin penuh cinta, bertabur bunga tak tercela. Bapak sangat menyayangi dan memanjakan Ibu, Ibu taat dan hormat kepada Bapak. Keduanya bagi ikatan yang tak akan pernah terpisah walau hamparan bumi ini terpecah. Keduanya tak akan menjadi musuh walau dinding langit runtuh.
Dalam sketa wajah laki-laki itupun tergambar kesabaran Ibu yang selalu terjaga dalam suka, terpelihara dalam cinta. Selamanmya menjadi ma’mum yang shalehah disetiap do’a yang tercurah dalam shalat berjamaah. Tetesan air mata mengiringi ciuman tangan penuh rasa hormat dan maaf saat usai berdo’a penutup shalat. Semua itu menjadi tuntunan hidup Barnia.

9
Disentuhnya sketsa wajah laki-laki itu sangat hati-hati. Seolah olah tak ingin mengotori apalagi merusaknya. Tak akan dibiarkan terputus goresan-goresan kwas agar terlihat tetap sempurna. Dijaga ketat dengan bingkai yang kokoh tanpa mengganggu keindahannya. Lama sekali Barnia berdiri memandangi sketsa itu dan terkejut saat Ibunya mengucapkan salam.
“ Assalamu’alaikum……. ”
“ Subhanallah…. Wa’alaikum salam……. ” jawab Barnia penuh hormat. “ Dari selepas shalat dhuha sampai mau menjelang dhuhur asyik sekali kelihatnnya, ada apa sih…… ” Tanya Ibunya sambil ikut melihat sketsa yang dari tadi menjadi sasaran mata Barnia.
“ Ah nggak Bu….ini beres-beres saja, supaya selalu bersih ” jawab Barnia tersipu.
“ Ini gambar siapa…. Sepertinya istimewa sekali. Ganteng….kalem sekali orangnya, gambar teman atau siapa, tak biasanya langsung diberi bingkai, bagus lagi ”.
Pertanyaan Ibunya tak dapat dijawab, harus mengatakan apa karena dibuatnya tanpa model, goresan kwas di kanvas semata-mata ajakan hati yang menerobos batas waktu dan tempat yang jauh,melayang diantara mega-mega putih, mengelilingi hamparan lahan luas.

Disitulah, ditempat para pengrajin batik, perjalanan hatinya berhenti mengarah ke seseorang dan mulai tangan ini menari menyentuh wajah laki-laki yang pernah dikenalnya. Hatinya melukis, hatinya menggoreskan kwas, hatinya menyisir setiap garis dan arsir.
“ Rasanya belum pernah Ibu kenal, padahal hampir semua temanmu yang suka sama- sama berkumpul disini tidak ada satupun yang mirip dengan wajah digambar itu ” Barnia hanya menjawabnya dengan tersenyum.
“ Yang lebih mengherankan, kini ada dua gambar wajah laki-laki di rumah ini. Gambar Bapak dan gambar ini, malah bingkainya juga hampir sama, siapa sih ? ” semakin sulit untuk dicari jawaban. Ingin Barnia mengatakan yang sebenarnya tapi pantaskah itu. Mungkinkah bisa dijawab hanya dengan diam saja. Padahal selama ini tidak pernah menyembunyikan sesuatu kepada Bapak dan Ibu. Sekecil apapun permasalahan yang dialami selalu dibicarakan dengan kedua orangtuanya. Memang selama ini Barnia tidak pernah membicarakan laki-laki.
“ Ibu dan Bapak tahu, sangat mengerti, perempuan seusiamu lazim memiliki kedekatan dengan seorang laki-laki. Akan sangat bersyukur kalau mengetahuinya dari mu sendiri. Atau biar nanti Bapak menanyakan langsung ” ujar Ibunya.
“ Sudahlah Bu, gambar itu gambar biasa, sama dengan gambar-gambar lain yang pernah Barnia buat ” berusaha berkelit agar tidak berkepanjangan. Seorang Ibu yang bijaksana hanya tersenyum mengiyakan. Tak ingin anaknya merasa terpojokan.

Dipematang sawah yang panjang menuju kebun jambu Popo berjalan sambil sesekali bersiul dan memandangi hamparan sawah yang luas. Dalam minggu ini Popo akan mengirim hasil kebunnya ke kota. Untuk kali ini Popo harus lebih hati-hati memilih Jambu yang akan dikirimkannya. Sekalian mengantarkan Jambu ke sebuah Pusat pembelajaan, Popo akan

10
Menemui kerabatnya yang bekerja di Dinas Pertanian Propinsi seperti yang sering dilakukan untuk sekedar mencari informasi tentang budidaya tanaman. Kapan lagi kalau bukan hari ini Popo meluangkan waktu untuk menyusuri jalan-jalan di kota. Ternyata sudah sangat jauh berubah keadaan kota saat ini, tidak lagi seperti beberapa tahun dulu. Memang sungguh menjadi lebih maju, bangunan-bangunan menjulang tinggi dengan gaya arsitektur yang beragam,warna laburan tembok dinding menambah keindahan.

Tak terasa langkah Popo melewati sebuah Perguruan Tinggi yang ternama dan disalah satu bagian halamannya terpasang baliho besar bertuliskan PAMERAN SENIRUPA KARYA BARNIA KHATULISTIWA. Untuk beberapa saat Popo mengingat nama itu,pernah akrab,sering menyebutnya. Untuk membuktikan rasa penasaranya Popo memasuki ruang pameran yang telah penuh dengan pengunjung, tanpa ragu-ragu mengisi buku pengunjung yang terletak di meja depan dan menerima buku katalog pameran.

Inikah dunia lain yang belum dikenalnya selain buah-buah yang tumbuh di kebunnya. Sebatas melihat-lihat tanpa mencoba untuk memandanginya lebih dalam . Diantara pengunjung lain yang kebanyakan mahasiswa dan seniman, Popo mengarah ke sebuah lukisan yang berada tak jauh dari tempat ia berdiri. Popo kaget ternyata lukisan yang sedang ia lihat kini adalah lukisan wajah dirinya. Benarkah……ia tak merasa pernah menjadi objek lukisan oleh siapapun.

Ia tak pernah memesan untuk dibuatkan lukisan wajahnya,karena untuk itu memerlukan bayaran yang tak murah. Rasanya tak pernah pula dengan sengaja memberikan photo kepada siapapun apalagi kepada seorang pelukis. Hatinya menjadi kecut, tidak percaya pada penglihatannya. Tidak berani untuk beradu pandang dengan siapapun apalagi untuk mencari pelukis wajahnya. Merasa tak perlu berlama-lama berada disitu maka Popo segera meninggalkan ruangan pameran.

Lampu kamar hotel tempat Popo menginap menerangi Katalog Pameran yang kembali dilihatmya lembar demi lembar. Photo lukisan lukisan satu persatu diperhatikan. Lukisan abstrak, natural dari berbagai objek, lukisan motif batik modern. Beberapa lukisan wanita yang sedang membatik. Dibawah setiap photo lukisan tertera Judul,ukuran,bahan dan keterangan dijual. Dilembar terakhir ada satu photo lukisan yang dibawahnya tertulis “ Kau ” tidak dijual (koleksi pribadi ).
Lukisan wajah Popo yang diberi judul “Kau” dijadikan koleksi pribadi. Bagi Popo kata “Kau” menjadi pertanyaan besar. Kenapa, ada apa. Ingin mengetahui alasannya tapi harus bagaimana menanyakannya. Mungkin tadi siang waktu di ruang pameran bisa ditanyakan tapi mana mungkin bisa bertemu diantara pengunjung yang begitu banyak.

Entah untuk keberapakalinya Popo bolak-balik dari duduknya,berdiri dan mendekati jendela hotel untuk menentramkan perasaannya. Katalog kembali dibuka dan dihalaman paling akhir tertera photo Barnia , binar matanya,sayang tidak ada identitas yang dapat dihubungi. Senyum itu yang sering menghiasi bila ia berceritra. Ya berceritra sepanjang pematang sawah sambil merentangkan kedua belah tangannya. Lincah, jenaka…. hidup tanpa beban. Pintar, cantik lagi. Berharap bisa bertemu walau dalam mimpi, berceritra lagi, bersendagurau lagi, bercengkrama tentang segala hal. Biar daun-daun padi yang hijau itu

11
Menjadi saksi dan parit-parit berair bening serta riaknya mengantar langkah kami berdua menuju hilir lalu bermuara di telaga yang luas. Telaga cinta. Pantaskah mencintainya………..bisakah mengasihinya,mungkinkah Barnia menjadi ma’mum dari perjalanan hidup. Mengapa tak berani untuk bertanya kepada panitia pameran untuk bisa bertemu Barnia. Mengapa tidak berani bertanya kepada Barnia saat dikampungnya dulu.Bertanya apa……. Sudah punya pacar, kalau sudah atau belum, mau apa.

Rasa kangen ini telah lama hilang, telah lama terkubur bersama kisah terdahulu. Jendela hotel masih terbuka, warna-warna cahaya lampu di tengah malam seperti ini semakin terang, indah. Ada apakah diantara terangnya sinar lampu-lampu itu. Adakah Barnia yang sedang bermimpi dalam kepulasan tidurnya.

Lukisan-lukisan masih dipak tersimpan dalam galeri, belum dipasang ditempatnya lagi, jumlahnya memang berkurang karena sebagian besar ada yang membeli. Tubuh Barnia masih lemes setelah sibuk menyelenggarakan Pameran. Hari ini tidak ada rencana untuk ke kampus, kebetulan tinggal menunggu waktu untuk mengikuti wisuda. Ingin memanjakan diri, ingin terbebas dari kegiatan kesehariannya sebagai mahasiswi. Ingin mengenang masa-masa kuliah bersama teman-temannya dulu. Ingin menikmati kesuksesan pamerannya kemarin. Bapak dan Ibunya sangat memaklumi bila hari ini Barnia kelihatan hanya rilek-rilek saja di sofa sambil nonton TV. Sesekali bersenandung mengikuti alunan lagu.

Pak Harja dan istrinya bahagia penuh haru, bukan karena sebentar lagi anak semata wayangnya akan di wisuda tapi karena mengetahui banyaknya pengunjung yang datang di pamerannya terlebih-lebih banyak lukisannya yang terjual. Kebahagian lainnya adalah niat putrinya untuk menyumbangkan hasil lukisan yang terjual untuk para pengrajin batik di tempat penelitian tugas akhirnya.

Masih memegang buku tamu pengunjung pameran Pak Harja memanggil putrinya dan Barniapun menghampiri serta duduk disamping Bapaknya.
“ Banyak sekali pengunjung yang datang yah ” komentar Pak Harja
“ Alhamdulillah, padahal waktu persiapannya sangat pendek ” jawab Barnia
“ Jadi menyumbangkan dari hasil lukisan yang terjual ” Tanya Bapaknya
“ Insya Allah, nanti saja setelah acara wisuda, supaya kesananya tidak tergesa-gesa ”
“ Ke daerah penelitian mana akan disumbangkan ” Bu Harja turut bertanya
“ Disebutnya sih kampung batik tapi kurang tahu nama kampung yang sebenarnya”
“ Mungkin karena saking banyaknya masyarakat yang jadi pengrajin batik ” komentar Bu Harja tidak berkepanjangan.

Mendengar sebutan kampung batik Pak Harja terkejut sambil segera membuka dan membaca kembali buku tamu pengunjung pameran di lembaran terakhir dengan teliti.
“ Nih…. Ada pengunjung pameran yang menuliskan alamatnya dari kampung batik ” sambil memperlihatkannya kepada Barnia . Barnia terhenyak dari duduknya dan segera melihat apa yang ditunjukkan Bapaknya.

Terbaca nama Popo Zulkarnaen alamat kampung batik. Jantungnya berdetak kencang. Lama sekali membaca barisan tulisan itu. Ya itu Mas Popo, Popo Zulkarnaen,

12
masih hapal bentuk tulisannya, masih jelas dimata bentuk parafnya. Mas Popo datang dihari terakhir pameran. Pagi, siang atau sore, kalau saja malam pasti bisa ketemu. Ada rasa bahagia tapi sedikit terisi rasa sesal. Tak bertemu. Bagaimana perasaan Mas Popo saat melihat gambar wajahnya terpampang pada sketsel pameran. Marahkah ? atau bagaimana, apalagi lukisan itu diberi nama “Kau ”. Tersinggungkah, kenapa tidak menanyakan atau mengadu kepada panitia tentang lukisan wajahnya yang dipamerkan.

Kalau saja mengadu ke Panitia, pasti akan bertemu. Hati Barnia jadi galau, gelisah tak karuan lalu terdiam sambil terus membaca tulisan Popo Zulkarnaen kampung batik. Pak Harja menjadi heran karena tak biasanya Riri berprilaku menjadi diam, tak ada komentar.

Barnia bangkit dari duduknya segera mencari kas kayu yang didalamnya terisi lukisan wajah Popo. Dipandanginya tak berkedip. Ia ingin berteriak memanggil nama Popo, ia ingin berlari mencari Popo mungkin masih ada di kota ini,matanya lembab,nafas tersesak menahan tangis. menyesal tidak bertemu.

Bapak dan Ibu Harja menyusul Barnia ke galeri seninya, terdapat Barnia sedang terpaku memandang gambar wajah laki-laki. Wajahnya penuh tanya,penuh harap,ingin menggapai tapi tak mampu. Beberapa saat dibiarkan, agar tak terlalu kecewa. Tapi apa yang terjadi, apa yang dialami putrinya. Kehawatiran menyita perasaan Ibu Harja, didekapnya Barnia dari belakang sambil dielus kedua pipinya. Barnia membalikan tubuhnya dan mendekap Ibunya menyembunyikan kesedihan, rasa malu.
“ Diakah yang kamu tangisi ” tanya Bu Harja hati hati sekali
“ Ya, dia ” jawab Barnia dengan anggukan lemah
“ Sudahlah, kita bicara didalam ” ajak Bu Harja sambil melangkah ke ruang keluarga

Pak Harja menatap mata putri sematang wayangnya dengan senyum. Barnia tersipu malu, malu sekali. Ibu Harja mengerdipkan matanya memberi tanda bahwa anaknya sedang jatuh cinta.
“ Kenapa …. Siapa yang kamu gambar wajahnya itu, pacar ? ” semakin terpojok mendengar pertanyaan Bapaknya seperti itu. Marahkah….tapi tak terlihat berang.
“ Ga apa-apa Pak ”
“Yang digambar itu ? ” Tanya Pak Harja polos
“ Mas Popo ” jawab Barnia pelan. Ah malunya, kenapa harus begini jadinya, kenapa tak kutahan saja kejadian tadi. Biar nanti dikamar kulepaskan kegalauan ini.
“ Pacar ? ”
“ Bukan ! ”
“ Loh… kok aneh…bukan siapa-siapa, tapi ……” seperti menyindir
“ ceritrakan yang sebenarnya , agar Bapak dan Ibu memakluminya “ Ibunya memperkuat keingintahuan suaminya.
“ Sejak kapan dan belajar dari siapa kamu untuk tidak terbuka kepada Bapak dan Ibu,dikeluarga kita ini tidak akan pernah ada yang tersembunyi,sekecil apapun ”
Gemetar, tidak karuan, melebihi ketika menghadapi Dosen Penguji saat sidang sarjana. Apa yang harus disampaikan karena tak jelas alasannya, apakah perlu mengada-ada tapi tak terjamin kebenarannya,penyebabnya juga tak ditemukan sama sekali.

13
Namun akhirnya iapun memberanikan untuk menceritakannya panjang lebar kelakuannya walau sungguh sangat malu. Barnia tertarik akan pesona Popo, berharap Popo menjadi laki-laki seperti Bapaknya penyayang,bijaksana,penuh tauladan. Tapi tak berani menyatakannya. Popo hadir dalam harapan yang tak terungkapkan.
“ Ooh begitu…sepertinya dia laki-laki yang baik, karena tak mudah siapapun dapat menarik perhatianmu. Bapak tahu itu, kamu bukan orang yang mudah untuk merasa dekat secara khusus dengan siapapun.” tanggapan Pak Harja tak lepas senyum.
“ Pernah dia memperlihatkan perhatian khusus selama itu ” Tanya Bu Harja.
“ Berlebihan sih tidak tapi kadang-kadang bahasa tubuhnya menyiratkan perhatian walau sangat tertutup ” jawab Barnia menduga-duga.
“ Tapi itukan perasaanmu saja yang berlebihan siapa tahu dia biasa-biasa saja, Apa perlu Bapak yang menanyakannya, agar kamu mendapat kepastian “ Pak Harja kembali menggoda putrinya dan Barnia semakin kecut menahan malu. Ingin berlari ke kamar untuk berkaca, bagaimana bentuk wajahnya sendiri,memerah atau malah sembab.

Musim panen duren telah tiba, penggarap kebun duren menikmati hasilnya dengan gembira. Popo sibuk memilih dan memilah mana saja buah duren yang baik untuk dijual ke Pusat pusat pembelanjaan di kota dengan harga yang tinggi. Semua dilakukan berdasarkan kesepakatan dengan para penggarap karena merekalah yang memelihara tanaman duren sehingga hasilnya baik. Diantara para penggarap dibagi tugas untuk mengantarkan duren ke beberapa kota maka tak heran bila hasil panen tidak terlalu lama tersimpan dan dengan cepat mendapatkan hasil penjualan. Itulah kebiasaan yang ditularkan oleh Popo selama ini,mereka harus saling menghormati, saling membantu, harus bisa merasakan kebutuhan masing-masing dan menolong minimal mengurangi beban yang dideritanya.

Jalan berliku menuju kampung batik. Jemuran kain batik menghiasan setiap halaman rumah penduduk. Ibu-ibu di kampung batik ini bermatapencaharian sebagai pengrajin batik, sementara para suami berkutat tenaga menjadi petani di sawah dan di kebun. Mobil yang mengantar Barnia dan kedua orangtuanya telah memasuki halaman rumah salah satu penduduk. Kehadiran Barnia cepat tersebar dan dalam waktu tidak lama telah berkumpul Ibu-ibu saling melepaskan rasa rindu yang selama beberapa waktu tertunda. Dari mereka Barnia mendapatkan pujian karena telah membantu memberikan cara yang baik dalam membuat batik, sehingga batik yang dihasil memiliki daya jual yang tinggi dari sebelumnya.

Maksud Barnia dan kedua orangtuanya berkunjung ke kampung batik, selain bersilaturahmi disampaikan rasa terima kasih karena atas kesediaan para pengrajin batik menjadi objek penelitiannya sehingga laporan akhirnya dapat diselesaikan dengan baik dan seminggu yang lalu sudah di wisuda. Dengan penuh suka cita Barnia menyerahkan seperangkat peralatan membatik termasuk bahan kain morinya kepada setiap pengrajin batik. Tak ketinggalan Bu Harja turut menyerahkan amplop yang berisi uang, walau tak seberapa jumlahnya mudah-mudahan bermanfaat.

Yang dicari tak nampak, ingin sekali mendapat berita tentang Popo dari yang berkumpul, tapi tak berani untuk memulai bertanya. Biasanya setiap sore di bale kampung ini Barnia dan Popo saling membagi pengetahuan.

14
Haruskah ditanyakan atau harus kucari menyusuri pematang sawah sampai ke kebun. Bapak dan Ibu Harja masih menduga-duga tapi tak ada seorangpun yang mirip dengan lukisan wajah di rumahnya dari sekian laki-laki yang hadir saat itu. Pak Harja melihat putrinya mulai tak tenang, matanya mencari-cari. Mengerti akan perasaan putrinya secara diam-diam Pak Harja menanyakan keberadaan Popo.
“ Ooh…Den Popo sudah dua hari pergi kekota mengirimkan hasil panen duren ” jawab seorang laki-laki separuh baya.
“ Ini ada buku tentang buah-buahan untuk dia ” tak mengira kalau laki-laki yang dimaksudnya disebut Den, tentunya memiliki latarbelakang yang lain dari mereka.
“ Bila ingin tahu kemana perginya Den Popo bisa saya antar untuk menanyakan kepada para pekerjanya ” sambung laki-laki yang agak muda.
“Tidak usah, nanti nitip saja “ jawab Pak Harja mengejutkan Barnia, padahal ingin tahu keberadaan Popo. Untuk berapa lama ke Kotanya.Tapi tak berani memprotes keputusan Bapaknya. Ibu Harja mengerti maksud suaminya, bagaimanapun keinginan untuk bertemu sangat memuncak tapi tetap perlu pengendalian diri agar tidak menimbulkan kesan kurang baik.
Sebetulnya bukan hanya Barnia yang ingin bertemu Popo, kedua orangtuanya juga sedikit kecewa karena tidak bisa melihat asli wajah laki-laki yang digandrungi putrinya . Namun demikian cukup plong hati mereka bahwa putrinya tidak sedang bermimpi tentang wujud laki-laki yang tak pernah ada. Yang ditakutkan kalau-kalau putrinya berimajinasi yang akhirnya menjalani hidup tanpa kenyataan.

Buku tentang buah-buah yang rencana akan diberikan langsung kepada Popo masih didekap Barnia, tak ingin melepaskan. Selanjutnya dititipkan kepada salah seorang yang hadir untuk diserahkan kepada Popo. Barnia berusaha menyembunyikan rasa kecewanya, ia terus menyebutkan dan menceritrakan tempat-tempat yang pernah dilaluinya dulu tapi tidak berani mengatakannya kalau saja ditempat-tempat itu sering bertemu dengan Popo.

Kampung batik telah jauh ditinggalkan, sebagian kenangan manis tersimpan baik disana selebihnya dibawa di hati Barnia sebagai teman untuk selalu berceritra tentang hari-hari yang pernah dilaluinya bersama Popo.

Sebuah dus besar tersimpan disalah satu sudut ruangan keluarga rumah Barnia. Soleh yang telah lama menjadi pembantu keluarga Pak Harja menerimanya dari tamu yang mengaku teman Barnia. Dibagian atas menempel selembar kertas yang bertuliskan “ Jeng Barnia“. Karena tidak bertemu dengan tuan rumah maka sebelum berpamitan tamu menulis surat dan menyerahkannya kepada Soleh untuk Barnia.

Menjelang Isya Barnia bersama kedua orangtuanya telah tiba di rumah, entah untuk keberapakalinya harus terkejut ketika Soleh menceritakan ada tamu yang mencari Barnia dan menitipkan bingkisan yang dikemas dengan dus besar. Sebutan “Jeng Barnia “ selalu terngiang ditelinga Barnia yang sering terucapkan dari bibir Popo. Pak Harja penasaran , segera saja membuka dus besar yang ternyata isinya berbagai panganan dengan bahan duren. Dodol duren, keripik biji duren, wajit duren serta dua biji buah duren yang besar-besar.

Barnia tak begitu peduli dengan isi dus karena ia sibuk membuka surat yang diterimanya dari Soleh. Kembali bergetar hatinya, mata berbinar. Bahagia,haru, sedih

15
Bercampur menjadi satu sehingga tak sanggup lagi untuk terus membacanya. Dipejamkan matanya ingin membayangkan Popo seutuhnya. Pak Harja memberikan isyarat kepada istrinya untuk meninggalkan Barnia, karena mereka mengerti pada situasi seperti itu membutuhkan kesendirian. Malam itu kamar Barnia dipenuhi bayangan wajah-wajah Popo. Saling berceritra, bersendagurau penuh canda. Berulang-ulang surat dibaca dan kembali air mata menetes, bahagia lagi, berharap lagi.

Jeng Barnia // selamat telah di wisuda // Sukses pamerannya // Maaf belum bisa bertemu// Mohon do’a karena profosal bea siswa S.2 saya dikabulkan // untuk sementara waktu saya akan berada di Negara orang lain // bila mau menunggu kita bisa ketemu lagi // untuk selamanya.

Tak perduli serendah atau setinggi apa tingkat pendidikannya. Tapi benarkah akan bertemu lagi malah untuk selamanya, benarkah tidak akan terlalu lama menunggu tapi mengapa belum ada kabar setelah satu tahun berselang. Apa susahnya mengirim surat atau telpon atau apalah. Memang ada yang terlupakan selama ini. Popo tak pernah meminta nomor HP atau telpon rumah tapi apakah tak tahu juga nama alat rumah dan nomornya.

Hari hari Barnia berada di lingkungan kampus, sekarang bukan untuk kuliah tapi untuk menyampaikan materi perkuliahan. Karena tak lama setelah diwisuda Barnia mendapat kesempatan untuk menjadi Assinten Dosen mata kuliah seni murni. Bisa ditebak penampilan Barnia kali ini menyesuaikan dengan kapasitasnya walau tidak pernah menghilangkan keramahannya, kepada siapapun dan tetap berteman setia dengan motor bebek tuanya.

Bunga segar selalu tersimpan di Galeri, menjadi lebih bersih,indah. Gambar wajah Popo berpindah ke kamarnya. Halaman rumah yang luas disulap menjadi otlet kampung batik lengkap dengan sajian informasi tentang batik dan tak tertinggal studio pembuatan batik. Setiap hari berbagai kalangan mengunjunginya termasuk para mahasiswa yang mencari literatur tentang batik.

Dengan segala kemampuannya Barnia dibantu salah seorang pengrajin batik yang sengaja didatangkan dari Kampung batik untuk membimbing para mahasiswa yang ingin belajar membatik atau kepada siapapun yang datang walau hanya sekedar mencoba-coba.

Batik yang tersedia seluruhnya dikirim dari kampung batik sehingga jalinan dengan para pengrajin batik semakin erat. Secara bergiliran pengrajin batik dapat bertemu Barnia dan membantu mengurus usaha otlet batiknya. Otlet itu bukan milik Barnia tapi milik para pengrajin batik yang sengaja oleh Pak Harja disiapkan segalanya.

Pak Harja mengerti akan harapan Barnia sebagaimana yang ia tuliskan dalam buku tugas akhirnya, ia ingin memajukan industri batik termasuk kesejahteraan pengrajinnya. Semula rumah itu dihuni hanya oleh keluarga kecil tapi sekarang menjadi besar dan ramai, padat dengan kegiatan.

Kalau boleh meminta dan memilih, biarlah setiap hari hanya diisi siang tanpa malam, karena dalam malam tersimpan sepi, terbatasnya ruang, gelap,dingin.

16
Biarkan siang selamanya agar dapat melakukan aktivitas yang dapat sedikit menggantikan perhatian hatinya. Bukan melupakannya karena memang tak dapat dilupakan.

Seperti malam ini,otletnya telah tutup setelah selesai mempersiapkan materi untuk perkuliah besok ia mendekap bantal guling, terdengar sayup alunan lagu yang sepertinya sengaja diciptakan dan dinyanyikan untuk Barnia.

Dilarut malam ini sedang apa dirimu //Apakah mimpi indah atau menahan sepi menunggu malam usai //Penantian yang panjang, terhimpit rasa sunyi //Menghitung harap cemas // akankah mentari tiba di haribaan // Mungkinkah senyummu kudapat lagi // Seperti hari hari kemarin // Mungkin belai kasihmu berulang kembali //Hanyalah untukku // Bila senja menjelang kau titipkan cintamu //Berukir cumbu rayu, kusimpan di dada didekap pelukan malam. // Dapatkah siang tak berganti malam //Agar dirimu tetap dalam tatapanku //Slalu menyulam rasa dan menjalin kasih //Hanyalah denganku……………………………………

Musim ujian semester telah usai, Barnia disibukan dengan pekerjaan memeriksa jawaban ujian teori maka Barnia lebih banyak berada di rumah. Ternyata asyik juga seharian melayani pembeli batik di otletnya, para pengrajin batik yang kebetulan giliran menjaga otlet merasa sangat gembira karena omset batik yang dipajang perlu segera ditambah.
Berbagai motif batik laris terjual dan untuk mengimbangi pasar Barnia berusaha menciptakan motif-motif baru serta memberi variasi warna yang lebih menarik. Terlebih-lebih banyak pengrajin busana yang memesan batik dalam jumlah yang besar. Menghindari rasa penat setelah bekerja seharian Barnia membantu dibagian Kassir. Setiap pembeli dilayaninya dengan ramah dengan harapan untuk kembali berbelanja lagi.
Saat ini pembeli lumayan banyak, Barnia sibuk dari menghitung nilai harga yang harus dibayarkan hingga mengemas barang yang akan diserahkan kepada pembeli. Keasyikan tersebut membuat Barnia tidak lagi memperhatikan pembeli satu persatu. Sehingga rasa lelah yang melanda tubuh tak dirasakannya.
Diantara pembeli lain yang akan membayar belanjaannya,seorang anak perempuan kecil berambut pirang,matanya coklat menyodorkan selembar kain batik dengan beberapa uang dolar. Barnia kaget, menurut pemikiran anak sebesar itu belanja sendiri dan sudah memiliki selera motif batik yang tinggi karena ia memilih kain batik yang sangat bagus dengan harga lumayan mahal. Barnia keluar dari tempat kasir dan mendekatinya. Sambil berjongkok memberikan bungkusan kain batik yang dibelinya.
Gadis mungil bule, lucu. Hanya terdiam, matanya ragu tak bereaksi apapun. Barnia bingung, anak ini dari mana datangnya. Wajahnya mengarah kepada seseorang yang sedang memilih kain dan ia berlari menghampirinya lalu menarik tanganya memaksa untuk membalikan tubuhnya.
Halilintar sekeras manapun tak akan dapat mengalahkan ledakan hati Barnia saat itu, Barnia berdiri terpaku. Gemetar tubuhnya. Perlukah berlari menyambutnya dengan pelukan yang erat agar tak terlepas lagi.

17
Tak percaya pada pandangannya sendiri, Barnia menutup wajahnya rapat-rapat,ingin menyembunyikan raut wajahnya yang entah seperti apa saat itu.
“ Jeng Barnia, saya kembali ”….dan kedua tangannya menyentuh bahu
“ Mas Popo……………… “ Ya Tuhan, hatiku kelu, bibirku tersumbat seribu bahasa,tubuhku seperti tak bertulang. Luluh. Siapakah si mungil berambut pirang bermata coklat yang mendekap kaki Popo dan memandang Barnia penuh curiga. Barnia tak ingin menebak bahwa anak kecil itu anak dari pernikahan Popo dengan wanita asing selama berkuliah disana.

Malam itu bulan bersinar terang,ruangan tamu dan ruangan tengah rumah Barnia tertata rapih. Bapak dan Ibu Harja memaklumi kebahagiaan yang sedang mengisi hati putrinya karena malam ini yang berjanji untuk kembali telah hadir.

Potongan busana kebaya modern dari bahan brukat halus berwarna putih, berpadu dengan rok panjang sebetis berpola lipatan payung dari bahan batik hasil ciptaannya sendiri telah menyulap Barnia menjadi wanita yang berpenampilan sangat dewasa, berpribadi.
“ Mohon maaf bila saya baru bisa bersilaturahmi, Jeng Barnia banyak sekali bercerita tentang Bapak dan Ibu, saya turut bahagia dapat bertemu dengan Barnia karena telah dengan telaten membantu para pengrajin batik malah dipersilahkan mengisi otlet yang ada disini ” tutur Popo malam itu, tutur katanya tersusun santun.
“ Loh…ko turut bahagia ? bukankah seharusnya Nak Popo sendiri saja yang bahagia dapat berkenalan dengan putri kami semata wayang yang cantik jelita ini ” jawab Pak Harja mencairkan suasana yang terasa kaku dengan berkelakar memuji putrinya.
“ Maksud saya, apalah arti kebahagian yang saya dapatkan apabila tidak menjadi ke bahagiaan orang-orang disekeliling saya, maka saya turut bahagia karena kebahagiaan yang saya rasakan malah lebih bermanfaat sebagaimana yang dirasakan oleh para pengrajin batik “

Tipe manusia semacam ini langka untuk ditemukan, Pak Harja ragu apakah Barnia dapat memahami yang dikatakan Popo yang duduk bersebrangan. Takut Barnia menduga Popo hanya mementingkan orang lain tapi mudah-mudahan perasaan Barnia tidak bertepuk sebelah tangan.
“ Tadi siang Ibu melihat nak Popo berkunjung ke Otlet batik membawa anak kecil berambut pirang kenapa tidak sekalian diajak dengan Ibunya kesini sekarang” tanya Bu Harja penasaran.

Yang ditanya hanya tersenyum dan itu membuat hati Barnia semakin kecut, siapa tahu anak kecil itu benar-benar anak Popo. Karena saking galaunya tadi siang tidak sempat ditanyakan dan Popo sendiri tidak menjelaskan apapun, apalagi terburu-buru pulang karena anak kecilnya menangis mengajak pulang.

18
Tanpa ragu sedikitpun dan sesekali mengarahkan pandangannya kepada Barnia, Popo menjelaskan keberadaannya : “ Anak kecil itu bernama Amnatte, putri saya ”. Barnia dan kedua orangtuanya terperanjat,tak menduga akan begini setelah penantian yang panjang.
“ Ya, Amnatte putri saya, tepatnya anak angkat. Setelah empat bulan saya menghuni plat yang saya kontrak. Pemilik plat mendapat kecelakaan, peristiwa tabrakan mengakibatkan jiwa suami istri pemilik plat tidak tertolong. Mereka meninggalkan seorang anak perempuan. Amnatte yatim piatu, kasihan dia memerlukan perlindungan, perlu ada yang mengantar menyongsong masa depannya ” lanjut Popo. Barnia masih belum bisa mengerti maksud Popo membawa Amnatte bersamanya kembali ke Indonesia. Bapak dan Ibu Harja tertegun memperhatikan Barnia
“ Apapun resiko dari yang saya lakukan akan saya terima dan itu sudah menjadi sikap saya, karena saya berkeyakinan sikap saya tidak salah. Saya harus adil pada diri sendiri, saya tak boleh licik pada keadaan seperti yang pernah saya alami ”
“ Apa maksud nak Popo ”
“ Sebelum saya diadopsi oleh kedua orangtua saya sekarang, selama dua tahun saya hidup di Panti Asuhan. Saya tak mengenal kedua orangtua saya, saat kejadian bencana alam yang merenggut jiwa kedua orangtua kandung saya, saat itu usia saya baru satu tahun. Alhamdulillah Tuhan telah mengirim orang shaleh yang membesarkan,membimbing hingga saya dewasa. Salahkah bila saat ini saya melakukan niat yang sama dengan kedua orangtua angkat saya ” jelas Popo terbata karena terkenang kehidupan lamanya.

Malam semakin larut, perbincangan berakhir setelah Popo berpamitan untuk pulang tapi sebelumnya menyampaikan sesuatu yang diluar dugaan Barnia. Popo memohon ijin untuk mengenal Barnia lebih dekat dan berharap Barnia dapat menerima Popo ada adanya terlebih-lebih ada Amnatte yang telah diadopsinya menjadi anak angkat.

Kedua orangtua Barnia hanya bisa saling memandang dan dengan tatapannya bertanya kepada Barnia yang duduk tertegun. Mata Barnia berkaca-kaca tapi bibirnya tersenyum manis. Dengan segala kesungguhan Barnia mengangguk sambil melirik kearah Popo. Bu Harja yang harap-harap cemas tak kuasa segera mendekati Barnia dan mereka berpelukan.
“ Kalau itu pilihanmu…. Ibu percaya kamu dapat menjalaninya dengan ikhlas. Insya Allah segalanya ada ditangan yang maha mengetahui ” bisik Bu Harja semakin erat memeluk putri semata wayangnya.

Barnia mengantar Popo sampai ke pintu gerbang, sepertinya rembulan tak mau bergeser, ia menerangi hati Barnia yang bahagia. Yang pergi telah kembali, yang ditunggu telah datang, yang dijanjikan telah terucapkan. Gambar wajah Popo tak sendirian lagi,kini ia berdampingan dengan gambar wajah Barnia yang tersenyum manis.

Kampung batik sudah bukan lagi kampung yang asing dan jauh untuk ditempuh bagi Barnia. Semakin indah alam kampung batik , semakin banyak jalan-jalan yang dilalui Barnia walau hanya sekedar berkeliling menghabiskan waktu bersama Amnatte. Para pengrajin batik semakin sering dikunjungi,sama-sama mengerjakan pesanan batik.

19
Ternyata keberadaan Amnatte yang lucu,ceria berhasil mencuri perhatian Barnia, sesekali diajaknya berkeliling dengan motor tua, berjalan-jalan. Pak Harja dan istrinya merasa itu semua seperti prilakunya dulu ketika Barnia masih sangat kecil. Berlari-lari, menari-nari, bernyanyi ceria.

Matahari semakin terik, siang semakin terang. Langit yang bening membiru berhias mega-mega putih. Pucuk daun cemara berlenggok, menari mengikuti irama semilirnya angin. Deru suara kendaraan yang berpapasan dengan Barnia terdengar merdu, semerdu nyanyian rindu hati Barnia.

Otlet Batiknya yang diberi nama Kampung batik semakin hari menunjukkan perkembangan yang sangat maju. Kini telah dibuka dibeberapa tempat walau hanya sebagai tempat penjualan saja. Untuk pusat informasi dan studio batik tetap berada di rumah Barnia.

Pertemuan antara Barnia dan Popo terjalin semakin baik dan itu terjadi bergantian,sesekali Barnia mengunjungi Popo dan Amnatte sambil sekalian mengirimkan bahan-bahan untuk membatik dan pulangnya membawa hasil batik yang dipesannya. Begitupun sebaliknya Popo mengajak Amnatte menemui Barnia sambil mengirimkan pesanan buah-buahan.

Bila kebetulan Popo diundang untuk menjadi pemateri dalam sebuah lokakarya atau seminar dibidang budidaya pertanian maka Amnatte akan menjadi teman Barnia untuk beberapa waktu. Tak terasa hubungan mereka telah terjalin lama dan nampaknya mengarah kepada ikatan pernikahan.

Pak Harja dan istrinya selalu menunggu kapan putri sematawayangnya dilamar untuk menjadi istri Popo. Rasa bahagia akan menyaksikan putrinya menikah tidak membuat rasa cemas menghilang dari hati mereka berdua. Kecemasan yang dirasakan cukup beralasan dan itu semua harus dilalui walau seberat apapun beban yang akan dipikulnya. Akankah kehilangan Barnia, akankah terlepas dari sebuah ikatan kasih yang selama ini terjalin dengan penuh cinta bersama Barnia. Akankah segalanya menjadi sesuatu yang tidak diinginkan.

Dulu setelah menyelesaikan kuliah di Tekhnik Industri dan menikahi Astri, Harja Darmawan memboyong istrinya untuk bekerja di sebuah Perusahaan Batubara di Pulau Kalimantan. Sepuluh tahun lamanya mereka tinggal di Basecamp Perusahaan dan menjadi bagian masyarakat pedalaman Kalimantan. Hari-hari tanpa pasilitas dan keramaian sebagaimana yang sering didapatkan semasa di Pulau Jawa sungguh sangat membatasi gerak kehidupannya.

Rasa sepi jauh dari saudara terlebih bila Harja sedang melakukan pekerjaan yang membutuhkan waktu berhari-hari. Tak jarang heningnya malam hanya dilaluinya sendiri. Suara lucu dan tangisan manja seorang anak belum juga didapatkan dari pernikahannya. Kepedihan harus diterimanya setelah mendapat diagnose dokter bahwa rumahtangga mereka tidak dapat menghasilkan keturunan. Semakin sepi hidup Astri dan Harja.

Dalam suasana libur Harja mengajak Astri untuk pergi ke lokasi penambangan Batubara yang jauh dari tempat tinggalnya, selain ingin memberitahu lokasi pekerjaan

20
barunya, ada sesuatu yang ingin disampaikan. Sepanjang jalan hamparan perkebunan Kelapa Sawit dan lebatnya rimba pedalaman Kalimantan menjadi hiasan perjalanannya. Barisan rumah-rumah pekerja tambang batubara yang sangat sederhana menjadi pemandangan keseharian bagi seluruh pekerja tambang batubara.

Rencana Harja dan Astri akan menginap di lokasi penambangan terpaksa harus dibatalkan karena Zilya istri pekerja tambang yang telah hamil tua memerlukan pertolongan segera. Maka mereka dengan segera kembali ke kota untuk mendapatkan pertolongan persalinan.

Hingga malam Harja dan Astri masih berada di Rumah Sakit untuk memastikan persalinan berjalan dengan baik. Suara tangis bayi memecahkan gelapnya malam,rasa haru tergambar dari raut wajah Astri karena telah dapat membantu menggapai kebahagiaan dalam sebuah rumahtangga yang oleh Astri sendiri belum bisa teralami langsung.

Namun malang tak dapat ditolak Zilya Ibu bayi telah mengantarkan kelahiran anaknya dengan pengorbanan yang sangat besar. Ibu bayi merenggang nyawa hingga berakhir dengan meninggalkan buah cinta kasihnya. Harja berupaya meredakan rasa sesal dan tangis memilukan Romsan yang ditinggalkan istrinya.

Keesokan harinya suasana berkabung mewarnai seluruh Karyawan penambangan Batubara, jenazah telah dikebumikan dan berdasarkan adat yang dianut masyarakat pedalaman setempat setiap malam dilakukan ritual untuk mengantarkan arwah menuju sang pencipta. Sementara Astri mengurus sang bayi yang masih memerlukan perawatan di Klinik.

Satu minggu berlalu sang bayi sudah boleh dibawa pulang, Astri mengabarkan ini kepada Harja yang berada di lokasi penambangan batubara untuk selanjutnya disampaikan kepada Bapaknya yang masih berkabung. Maka Harjapun segera menemui Romsan dan menyampaikan kabar yang diterima dari Astri.

Sore hari Harja dan Romsan telah tiba di Klinik. Romsan menangis pilu, meratapi nasibnya. Ia memandangi sang bayi penuh kasih sayang. Mendekapnya, menciuminya. Matanya mengatakan harapan, hatinya menyimpan keinginan untuk membesarkannya. Air matanya menetes lagi, tertegun, terpaku.

Setelah kehilangan istri yang sangat dicintainya Romsan tak ingin kehilangan buah hatinya. Romsan berdiam diri, sendiri ia bercerita kepada Tuhan, mengadukan nasib yang menimpanya. Banyak yang diungkapkannya, segalanya. Termasuk keinginannya melihat sang putri yang baru saja ditinggalkan Ibunya hidup lebih maju. Tak ingin ia memberikan kebodohan dan kesengsaraan baru pada putrinya.

Romsan mendekati Harja dan Astri, sambil menggendong bayi mungil, matanya memerah kembali, suaranya terbata menahan tangis.
“ Pak Harja, Ibu Harja terimakasih atas segala kebaikan Bapak Ibu, semoga Tuhan membalasnya. Maafkan kesalahan Istri saya ” suaranya terbata
“ Sama-sama Pak Romsan, semoga Istri Bapak mendapat kenikmatan surga dan sibayi yang ditinggalkan menjadi seorang anak yang shalehah ” jawab Harja.

21
“ Dari keyakinan yang saya anut, saya ingin anak ini mendapat kehidupan yang layak sehingga ia mendapatkan pengasuhan, pendidikan yang layak pula. Atas nama kasih sayang saya dan istri saya yang telah tiada. Ijinkanlah saya mempercayai Bapak dan Ibu untuk membuktikan keinginan saya agar anak ini terasuh, terdidik dengan baik sehingga ia menjadi anak yang baik pula ” terpotong ucapan Romsan sambil menahan tangis segera menyerahkan bayinya.

Harja dan Astri saling memandang dan keduanya menatap Romsan yang tetap menundukan kepala. Dengan penuh ketegangan Harja menatap mata Astri penuh tanya. Wajah Astri memutih, matanya berkaca. Harja masih menatap, segala keputusan sepenuhnya diserahkan kepada Astri. Jantung Astri bergetar kencang, bibirnya terkatup rapat, tak dapat berkata apapun kecuali mengangguk. Harja membalas dengan senyuman. Harja memapah Romsan untuk lebih dekat kepada Astri, Bayi mungil telah berpindah kepangkuan Astri yang terus memeluknya. Harja mendekap Romsan dengan erat. Penuh tangis, penuh haru.
“ Maaf Pak, berilah ia nama Barnia Khatulistiwa, karena ia anak tercantik yang dilahirkan di pulau Borneo dan tempat ia dilahirkan pada lintangan khatulistiwa. Bila usia saya masih panjang, beritahu saya saat ia akan berjodoh ” pinta Romsan
“ Ya Pak Romsan, terima kasih atas pennghargaan dan kepercayaan Pak Romsan kepada kami berdua. Insya Allah kami akan senantiasa memenuhi harapan Pak Romsan ” kata Harja.

Harum bayi menambah keindahan dan keceriaan serta wanginya kahidupan Harja dan Astri, tahun demi tahun Barnia semakin lucu, ia anak yang pintar, setiap perkembangan menjadi kebanggaan bagi Astri dan Harja.

Pak Harja dan istrinya masih memikirkan bagaimana memenuhi permintaan Pak Romsan yang kedua untuk memberitahukan bila Barnia akan menikah. Yang lebih membingungkan bagaimana cara memberitahukan kepada Barnia bahwa dia bukan anak kandungnya. Akankah Barnia bisa menerima kenyataan yang sebenarnya.

Melihat keseharian Barnia yang berhias kecerahan, semakin besar beban perasaan dan pemikiran Pak Harja. Ia tak ingin membohongi, Barnia harus tahu siapa sebenarnya orangtua kandungnya agar ia menjadi anak yang dapat membalas budi terhadap orangtua kandungnya. Itu modal dari langkah Barnia untuk menjalani kehidupannya kelak.

Barnia tidak berkunjung ke kampung batik selain masih banyak stock batik minggu ini Popo akan menemui pegawai Dinas Pertanian untuk berkonsultasi tentang pameran buah-buahan. Sebelum ke Dinas Pertanian Popo menitipkan Amnatte ke pegawai di Otlet batik dan saat Barnia pulang dari kampus tak lama datang Popo.

Di galeri Popo mengatakan kepada Barnia bahwa ia akan meminangnya untuk nenjadi calon istri. Detak jantung Barnia terasa terhenti. Pernyataan seperti inikah yang selama ini ditunggu, tapi mengapa jantung ini berdetak semakin kencang. Padahal seharusnya tidak usah menjadi lemas tubuh ini, sebaiknya pula tak kaku bibir ini, Kenapa pandangan mata ini seperti menjadi buram. Tidak salah mendengarkah telingaku.

22
Pada waktu yang telah disepakati Popo datang bersama kedua orangtuanya dan meminang Barnia untuk dijadikan pendamping hidup. Ruangan tamu yang telah ditata dengan indah terasa menjadi semakin indah setelah terdengar permohonan dari orangtua Popo untuk dapat menjalin ikatan keluarga melalui pernikahan anak-anaknya.

Malam itu di kamar yang berbeda ada dua perasaan yang sangat jauh berbeda. Yang satu di kamar Barnia tersirat kegembiraan, di kamar lain Pak Harja dan istrinya kembali merasa galau, harus bagaimana mengatakan status Barnia yang sebenarnya. Barnia harus segera mengetahui, apapun resikonya. Seberat apapun harus diungkapkan sebagai tanggungjawab bathin terhadap Almarhumah Zilya sebagai ibu kandungnya Barnia dan permintaan Romsan yang mohon diberitahu bila Barnia akan menikah.

Di mushalla yang selalu terisi shalat berjama’ah, pagi ini selepas shalat Dhuha Pak Harja dan istrinya memeluk Barnia. Inilah kesempatan yang baik untuk mengutarakan beban perasaan Pak Harja dan istrinya.
“ Hari ini tidak ada kegiatan diluar rumah kan “ Ibu Harja mengawali pembicaraan
“ Tidak ada Bu, kebetulan tidak ada perkuliahan, ada apa Bu ? ” Tanya Barnia
“ Begini sayang, terlebih dahulu maafkan Ibu dan Bapak. Kebahagiaanmu adalah kebahagia kita bersama karena sebentar lagi Bapak dan Ibu akan memiliki seorang menantu pilihan hatimu sendiri. Kebahagian yang kita rasakan bersama juga harus menjadi kebahagiaan bagi setiap orang yang mengetahui bahwa kau telah memadu kasih lewat sebuah pernikahan “ tak lanjut perkataan Bu Harja.
“ Sebetulnya ada apa Bu “ Barnia heran

Suara Pak Harja sangat pelan dan hati-hati sekali, secara lengkap diceritrakan sagalanya dengan harapan agar Barnia dapat mengerti dan memahami sejarah kehidupan yang pernah dijalani selama ini. Hanya satu harapan Pak Harja dan istrinya, semoga Barnia bisa menerima kenyataan dirinya. Karena siapa tahu Ramson masih hidup dan ia berkewjiban untuk menjadi wali pernikahan Barnia dengan Popo.

Barnia terpejam rapat, hatinya lirih bagai teriris sembilu. Tetes air mata semakin deras. Tak sanggup membuka mata atau berkata apa. Masih mengenakan mukena,di mushalla ini hatinya menjerit mengejar jawaban. Mengapa, mengapa ini harus teralami. Terdengar beberapa kali permohonan maaf Ibu bapaknya. Tangisan Ibunya semakin jelas terdengar, pelukannya semakin erat.
“ Bapak dan Ibu bersedia menerima resiko apapun apabila kenyataan ini tak dapat kau terima,maafkanlah kesalahan Bapak dan Ibu. Andai karena kenyataan ini akan menjadi kebencianmu terhadap Bapak dan Ibu, akan kami terima. Tapi tolonglah jangan tidak kau akui keberadaan Bapak kandungmu dan semoga kamu dapat menjadi anak yang shalehah dari Ibu kandungmu yang wafat saat melahirkanmu“ jelas Pak Harja penuh harap.

Memang tak mudah bagi Barnia untuk dapat menerima kenyataan seperti yang diceritrakan Pak Harja dan istrinya. Dalam waktu yang cukup lama Barnia baru mendapatkan ketegaran hati setelah semua itu diceritrakan kepada Popo. Popo tidak ingin punya istri yang tidak menghormati orangtua kandungnya disamping kedua orangtua yang selama ini telah susah payah mengurusnya hingga saat ini.

23
Sekian lama Pak Harja terpisahkan oleh tempat yang sangat jauh dengan Romsan, melalui salah seorang kenalan di Kantor Pusat Perusahaan Batubara Pak Harja mendapat informasi bahwa Romsan masih hidup dan masih terdaftar sebagai karyawan di Perusahaan Batubara. Dengan bekal informasi dan ijin dari Pak Harja, Popo membawa Barnia untuk menemui Romsan. Selain untuk berziarah ke makam Ibu Zilya sebagai ibu kandung Barnia sekalian Popo mengutarakan permohonan untuk ditikahkan dengan Barnia.

Romsan tidak dapat menahan kegalauan hatinya. Ia teringat pada Istrinya yang telah lebih awal meninggalkannya dan hingga kini tak tergantikan oleh siapapun. Kini dihadapannya berdiri anak kandungnya yang dulu dititipkan kepada keluarga Pak Harja. Hampir tak percaya kalau wanita dewasa dan cantik ini adalah anak kandungnya.

Romsan bahagia, bukan karena anak kandungnya telah berhasil menjadi seorang yang berpendidikan dan menjadi dosen di sebuah Perguruan Tinggi ternama di Pulau Jawa, apalagi harus merasa bahagia karena anaknya kini telah memiliki berbagai pasilitas seperti layaknya orang-orang kota. Tapi kebahagiaan yang dirasakan Romsan adalah kesetiaan Pak Harja dan istrinya dalam memenuhi permintaanya dulu untuk memberitahu bila anaknya akan mendapat jodoh.

Dipeluknya Barnia sambil berkata : “ betapa shalehnya Bapak dan Ibu Harja, beliau telah berhasil mendidik kamu menjadi seorang wanita yang shalehah. Kamu mau menerima kenyataan dan bersedia menemui Bapak disini. Bapak dan Ibu Harja adalah dua manusia yang berakhlak mulia, jangan benci beliau. Beliau berdua adalah malaikat yang telah menyelamatkanmu dari kebodohan dan kesengsaraan. Kamu harus mengerti kenapa saat itu Bapak menyerahkanmu kepada beliau berdua. Ini kalung dan cincin peninggalan ibumu, terimalah walau sangat sederhana. Jadilah ma’mum dari imam yang shaleh, dia adalah menjadi suamimu kelak. Insya Allah pada hari pernikahanmu kelak Bapak akan berada disisimu ”. Barnia erat memeluk Bapaknya dan tangisnya semakin menjadi. Dengan ketabahan Pak Romsan mengelus rambut Barnia dan mengecup Barnia kening penuh kasih sayang.

Kepada Popo Romsan tua menitipkan Barnia “ Nak Popo, walaupun selama ini Bapak tidak sedetikpun mendampingi Barnia tapi hati Bapak tidak terpisahkan darinya. Barnia adalah wanita biasa tidak seperti istri-istri Nabi yang dapat menjaga dalam ketabahan hidup tapi dia akan bisa menjadi ma’mum yang shalehah dalam kehidupanmu. Karena Tuhan telah mengirimkan orang berakhlak mulia yang telah mendidik dan membinanya.

Dari ketulusan hati Pak Harja dan istrinya Barnia menjadi seorang perempuan yang pantas untuk dibawa bersama mengarungi hidup rumahtangga denganmu ” Semakin erat Barnia memeluk Bapak kandungnya,disaksikan gundukan tanah pusara ibu kandungnya yang berhiaskan taburan mawar putih. Semerbak mewangi, seharum perjuangannya dalam melahirkan Barnia dulu. Semoga mendapat keharuman syurga yang abadi.

Dari jendela pesawat Barnia melihat mega –mega putih yang menghampar luas dan birunya langit yang bening. Air matanya kembali menetes membasahi pipi sambil memandangi photo wajah ibu kandungnya yang baru ia kenal. Cantik. Ya Allah di syurgaMU yang indah ibuku bertasbih, dalam hidupku ia bersemayam selamanya.


24
Disebrang lautan sebelah selatan Pulau Kalimantan ada dua hati yang merasa bahagia,karena Pak Harja dan Istrinya telah dapat memenuhi permintaan Romsan saat menyerahkan bayi mungil dulu. Kini Barnia telah dewasa dan sebentar lagi akan menjadi seorang istri. Pak Harja baru tersadarkan bahwa akan terjadi sebuah pernikahan yang langka.

Pernikahan dari dua insan yang masing-masing hidupnya dibesarkan melalui proses adopsi ditambah sebelum menikah telah memiliki seorang anak perempuan bernama Amnatte yang diadopsi oleh calon suaminya saat berkuliah dulu. Inikah sejarah yang ditorehkan Tuhan kedalam kehidupan ummatNYA. Akankah esok semakin elok dan mengisi relung-relung kehidupan mereka.

Roda motor tua itu kini berputar pelan berkeliling kota mengantar tiga orang yang saling menyayangi. Semilir angin meniup dedaunan yang tumbuh lebat disepanjang jalan. Celotehan Amnatte sesekali mengundang gelak tawa penuh ceria. Dekapan Barnia semakin erat. Jalinan kasih tersulam indah. Mesra.
PROFIL PENULIS
Nama : Moddi Madiana
Subang, 11 Maret 2012
Jalan Flamboyan No.56 Perumnas Blok I Karanganyar Subang 41211 Jawa Barat
No. Urut : 380

Labels: ,