Dandelion - Cerpen Remaja

DANDELION
Karya Laras Setyawidi

“Wah, mendung. Ayo cepetan jalannya Pop. Nanti keburu hujan” ucapku sambil menarik tangan Poppy, sahabatku. “Ehehe, iya Wid. Tapi pelan-pelan. Nanti jatoh, kan seragamnya masih dipake buat besok” ujar Poppy sambil tertawa kecil. Kami berjalan mnyusuri gang-gang kecil. “Wid, gue kemaren liat Odi loh nembak cewe” ujar Poppy dengan muka sedikit menyesal. “Siapa?” tanyaku kaget bercampur sedih. “Meli, anak kelas 7”

Aku terdiam sepanjang perjalanan pulang. Bukannya bertanya-tanya siapa itu Meli. Tapi berfikir, ‘Wah, si Odi tega juga ya. Udah tau gue suka sama dia sejak kelas 7‘. “Udah dong Wid. Jangan sedih. Kan masih banyak yang lain. Lagian kan sebentar lagi mau UAN. Yuk, daripada mikirin Odi, mendingan belajar, biar lo bisa masuk SMA yang lo inginkan” Poppy menghiburku sembari tertawa. Aku pun tertawa melihat mukanya yang tergolong putih pucat itu mencoba menghiburku, lalu ku ajak makan kentang goreng di kedai terdekat.

Dandelion
Odi, orang ini sangat menyebalkan. Disamping sikapnya yang muenurutku over confidence, dia juga tega sekali membuatku cemburu. Ya walaupun aku tahu kalau aku bukan siapa-siapanya. Itu juga hak dia dalam memilih pacar. ‘Aduh, kok jadi gue yang gengges sih’ kataku dalam hati. Minggu itu, buku harianku yang berwarna pink dan wangi itu selalu kutulis makian untuk Odi. Walaupun aku tak pernah berbicara padanya sejak kelas 8, aku sangat menyukainya. Dia bagiku seperti anak laki-laki pada komik Super Girl. Keren, dingin, dan misterius. Padahal kenyataannya tidak sama sekali.

Suatu hari di perpustakaan sekolahku, aku sedang mambaca majalah game. Tiba-tiba muncullah Odi dan pacar barunya, Meli. Aku mengamatinya sambil berpura-pura terus membaca.
“Mel, kok malah baca komik sih? Ini PR nya”
“Ah, Kak Odi. Kakak aja ya yang ngerjain”
“Lah kok jadi kakak? Nanti Meli ga ngerti apa-apa”
“Ish si kakak. Yaudah kalo gamau ngerjain, sini Meli aja” ucap Meli sambil mengambil bukunya dengan gusar.
“Yah bukan gitu Mel”
“Tau ah kakak nyebelin”

Aku menahan tawa mendengar percakapan mereka. Meli ternyata anak yang bisa dikategorikan sangat manja. Memang jauh lebih cantik daripada aku. Lebih tinggi dan juga modis. Hal itu bisa dilihat dari cara dia menata rambutnya. Aku berusaha menahan tawa sekuat tenaga, untunglah diselamatkan oleh bunyi bel. Aku pun yang sudah tak kuat lagi menahan tawa karena melihat sikap asli Meli buru-buru meninggalkan rak majalah dan keluar perpustakaan.
“Popppyyyyy. Mau ceritaaaa” ujarku saat bertemu Poppy sepulang sekolah. “Widiaaa, gue juga mau cerita”, “Tentang Meli” ujar kami bersamaan. Aku tertawa bersama Poppy. “Lo duluan Wid” ucap Poppy masih sedikit tertawa. “Hehe, nih ya tadi kan gue baca majalah Pop di perpus. Terus…” Ku ceritakan apa yang kulihat di perpus tadi. Poppy tertawa terpingkal-pingkal. “Eh iya nih ya, cerita sekategori berarti. Tadi dikantin si Meli ngambek sama Odi gara-gara ga dibeliin Fan*a” aku pun tak kalah terpingkal-pingkal mendengar cerita Poppy yang satu ini. Meli memang manja, tapi dia beruntung, dia dengan mudahnya mendapatkan hati yang seharusnya kugenggam.
Malamnya, berkawan pena, aku menuliskan perasaanku pada buku harianku.

13 Januari 2008

Untuk apa mengajaknya
Jika harus tenggelam dalam pasir
Harusnya kau membawa lampu
Masuk kedalam hatiku
Lihat, siapa yang paling terang
Kamu, bodoh.
Sampai kapan kamu bertahan?
Perasaannya bukan cermin
Yang mengembalikan perasaanmu

Sudah dua bulan sejak Odi berpacaran dengan Meli. Dan suatu hari, aku pun mendengar kabar yang membuatku bingung, harus bagaimana? Sedih atau senang? Pasalnya, kabarnya adalah Meli putus dengan Odi dan kemudian berpacaran dengan Tio, teman dekat Odi. Menurut kabar yang berhembus (dikira angin kali) Tio memberikan hadiah sepatu cantik untuk Meli sehingga Meli setuju untuk jadi pacar Tio karena selama bersama Odi, Meli tidak pernah diberi hadiah. Tapikan itu hanya kabar saja. Who knows?

Suatu hari aku pulang sekolah sendiri, karena Poppy harus latihan paduan suara. Aku menyusuri jalan-jalan kecil menuju rumah. “Widia” ada yang menyapaku dari belakang. Aku kenal suara itu, Odi. Aku menoleh, hatiku sudah doki-doki tidak menentu, tersenyum palsu “Eh Odi, lah ngapain kesini?” tanyaku. “Mau jalan ke tempat les. Tadi udah ditinggalin temen-temen” jawabnya
“Oh, les yang di deket daerah rumah gue?”
“Iya disitu, temen-temen juga pada disitu, lo les dimana?”
“Heheh, nggak les Di”
“Kenapa? Udah kelas 9 loh, bentar lagi UAN”
“Hmm, gamau aja, ribet udah di sekolah belajar, di tempat les belajar juga, terus dirumah berlajar lagi”
“Wid, gue pernah denger dari anak-anak katanya lo suka sama gue dari kelas 7? Bener?”
“Hmm, gimana ya Di. Jujur sih tadinya iya, cuma sekarang udah engga kok, tenang aja” jawabku sambil tersenyum asal.
“Oh jadi itu alesannya lo tiap ketemu gue buang muka. Gue pikir, sombong amat lu”
“Lah gua kira lo udah tau gu suka sama lo. Abis anak-anaknya gengges (ribut) sih setiap lo ketemu gue”
Tak terasa sudah dipersimpangan yang harus memisahkan jalan kita. “Duluan ya Di” ujarku “Oke, hati-hati” balasnya.
Malamnya aku senyum-senyum sendiri memikirkan kejadian tadi sore. ‘Ah si Odi ga sedingin itu sama gue. Berarti ada kesempatan buat jadi the nextnya dia dong. Hihi. Ih, Widiaaa. Apa sih kok mikirnya kaya gitu’ perasaanku campur aduk. Seperti biasa kucurahkan semua perasaanku pada buku harianku.
Besok paginya, Ibuku membangunkan lebih awal karena beliau sakit dan tidak bisa mengurusi segala keperluanku hari ini. Akupun membawakan beliau obat dan mulai membuat sarapan untukku sendiri. Aku ingin memasak omelet pagi ini, namun ketika mengiris daun bawang, tanganku teriris karena memikirikan kejadian kemarin sore. ‘Stop wid, ingatan ini mulai ngeganggu’ begitulah aku berusaha untuk melupakan kejadian tadi sore.

Semenjak kejadian itu aku dan Odi semakin dekat, mengerjakan PR bersama, main game, jalan-jalan, makan es krim. Hingga saat suatu sore, di taman itu, aku dan Odi sedang makan es krim. Dibawah kakiku, bunga dandelion tertiup angin. Odi tersenyum. Hatiku selalu doki-doki setiap melihatnya tersenyum. “Wid. Maaf ya gue mau ngomong, tapi takut lo nya marah” ucap Odi membuka percakapan. “Yaelah Di, kalo gue marah tinggal gue sosorin aja ni eskrim ke muka lo. Hehe” jawabku ngasal. “Hehe, serius neng. Jangan marah ya”
“Iya, emang kenapa Di?”
“Gue suka sama lo. Mau jadi pacar gue?”

Deg! Aku hanya bisa menundukkan kepalaku. Iya, aku memang menyukai Odi, tapi untuk kata pacaran aku masih belum siap. Apa yang harus aku lakukan.
“Di, kita kan udah temenan nih baik banget. Dan jujur, sebenernya gue juga suka sama lo. Tapi gue belum siap buat pacaran. Lo tau kan? Umur gue aja masih 13 tahun. Belum pantes. Maafin”

Odi diam, diwajahnya aku bisa melihat noda kekecewaan. ‘Odi maafin gue’, pintaku dalam hati.
“Ahahaha, iya ga apa kok. Gue lupa, lo kan masih kecil ya. Masih 13 tahun. Walaupun seangkatan umur kita beda 2 tahun” ujarnya sambil tertawa, tampak jelas sekali tawanya asal.

Aku masih terdiam, aku sama sekali tidak menyesali keputusan ini, karena aku masih belum boleh pacaran di usiaku yang masih segini. Masih banyak kewajiban yang harus kutunaikan pada orangtua. Salah satunya belajar, sayang sekali kalau diumur segitu aku sudah harus repot-repot mengurusi pacar.
“Yaudeh, kita temenan aja. Tapi awas ya kalo lo ngilang tiba-tiba pas udah lulus nanti” ujarnya sambil mengacak-acak rambutku. “Heheh, Aye Aye Captain” ucapku sigap sambil hormat layaknya kepada kapten sungguhan.

TAMAT

PROFIL PENULIS
Hai, aku Laras. Pencari inspirasi dan Petualang. Umurku 17 tahun.
FB: Laras Setyawidi
twitter: @laraswidi_

Labels: ,