Andai Kau Tahu - Cerpen Cinta

ANDAI KAU TAHU
Karya Tri Adi Kurniawan
“Ya Tuhan, ku pasrahkan hidup ini kepadamu. Ku yakin, cepat atau lambat, aku akan menghadap kepada-Mu. Tapi, berikan aku waktu untuk mewujudkan keinginanku. Aku ingin melihat tawa mereka untuk terakhir kalinya”
“Penyakit yang diderita anak anda sudah semakin parah. Saya takut, tim medis tidak dapat menolong Iwan” ucap seorang Dokter kepada kedua orang tuaku yang tak sengaja aku dengarkan.
“Maa… Paa…” desahku lirih.
“Ia nak, kenapa?” sahut mamaku sambil menggengam tanganku.
“Mama kenapa nangis? Aku gak papa kok. Cuma kecapean doang”
“Eh.. engak. Mama gak nangis” sambil mengusap pipinya yang basah oleh air mata.
“Eh Dok, Iwan boleh pulang sekarang kan? Kayaknya dia gak betah disini” tanya papaku dangan sunyum khasnya.
“Ia paa.. disini panas”alasanku, agar aku bisa bertemu dengan teman-temanku.
“Oh ia, silakan, tapi ingan ya Wan, banyak-banyak istirahat” saran Dokter, dengan senyum yang sangat manis.
Andai Kau Tahu
Semenjak penyakit yang aku derita selama 3 tahun, aku selalu bolos sekolah untuk berobat saat aku kambuh. Dan saat aku ditanya oleh teman-temanku, aku hanya bisa menutupinya dengan kebohongan.
“Ya Tuhan, ampunilah aku karna selalu berbohong pada teman-temanku. Aku hanya tidak ingin mereka tau, dan aku tak ingin mereka terbeban dengan keadaanku sekarang.”

Pagi-pagi sekali, aku sudah bangun. Aku tak ingin ketinggalan melihat matehari terbit, yang sudah lama tak ku lihat semenjak aku koma di rumah sakit. Meskipun hanya mampu melihat dari balik jendela kamar. Tapi itu cukup untuk menghibur hati ini.
“Ya ampun, udah jam segini, aku belum mandi lagi.” Ucapku.

Terlalu asiknya, aku sampai lupa kalau hari ini, adalah hari senin. Tak lama kemudian, ada seseorang cewek yang datang menjemputku, Neni teman sekelasku yang selalu datang pagi-pagi, ntuk berangkat sekolah bareng. Bukan karena dia suka denganku, tapi karena rumah kita memang agak dekat, hanya barbada RT.
“Iwan, ini Neni udah dateng, udah di tungguin dari tadi lho.” teriak mamaku dari ruang makan.
“Ia maa, bentar lagi.”sahutku.

Seperti biasa, aku dan Neni berangkat bersama dengan berjalan kaki. Bukan karena sekolah kami dekat, tapi mameng ini yang kami pilih agar kami bisa bergurau dan berbagi cerita saat di perjalanan. Makanya, Neni selalu menjemputku pagi-pagi sekali. Dan kami memilih barangkat lebih pagi, karena belum ada kendaraan yang melintas di taman komplek kami. Meskipun udaranya dingin, tapi terasa hangat dengan cerita–cerita kocak yang ku buat. Tak selang waktu saat kami bercanda, aku melihat Bagas tertunduk dengan nafas terengah-engah.
“Ngapai lu, sampek ngos-ngosan kayak gitu?”sambil menepuk bahunya.
“Heh.. lagi ngejar Siska”sahutnya dengan nafas yang belum normal.
“Emang Siska kenapa?” sahut Neni.
“Udah duluan naik ojek tadi”
“Jiah.. kirain kenapa”sahutku gemas.

Kami bertiga memang selalu bergurau, kapan saja dan dimana saja. Tidak pernah melihat situasi. Entah itu masih jam pelajaran, atau sudah istirahat. Pernah sekali dihukun saat jam pelajaran Bahasa Indonesia, kami bertiga harus hormat di lapangan sampai jam istirahat. Anehnya, bukan penyesalan namun malah bergurau, sampai perutku sakit. Tak hanya dengan mereka berdua saja aku berbagi keceriaan, aku juga bercanda tawa dengan teman-temanku yang lain. Terlebih dengan Siska, seorang gadis yang ku suka sejak pertama aku bertemu dengannya. Namun aku telambat untuk menggungkapkan semua isi perasaan ini. Perasaan yang aku pendam selama ini, yang mungkin bila aku ungkapkan, akan menjadi duka baginya kelak.
“Tuhan, izinkan aku untuk terus bertahan dan memendam perasaan ini, memang terlalu sakit, jika dia yang ku sayang, kini dengan orang lain yang sangat aku kenal. Namun aku akan merasa sangat bahagia, jika dia bahagia dengannya. Tuhan, cepat atau lambat aku akan menghadapmu. Tapi, aku ingin mereka iklhas dengan kepergianku.”
“Wan… Iwan?”

Suara itu sangat ku kenal. Siska, ternyata dia yang memanggilku.
“Eh.. ia … ada apa?” sahutku grogi, sambil membetulkan kaca mata yang basah terkena air mataku.
“Kamu kenapa sendiri di kelas? Gak ke kantin?” lanjutnya.
“Eh.. ia. Entar aku nyusul deh”jawabku ringan.

Untung dia tidak melihat aku menangis. Aku tidak ingin ada yang melihat aku merenung dan menangis saat aku terfikirkan tentang ucapan dokter 2 minggu lalu. Jika memang penyakit ini tidak bisa disembuhkan. Aku ingin mereka semua mengenang namaku, tingkahku, wajahku saat tertawa, dan semua kenangan yang ada di kelas ini. Di sekolah kenanganku ini.
“Hai semua… Maaf ya tadi beresin buku dulu” ucapku dengan senyum khas.
“Udah pada pesen makanan belom” lanjutku.
“Lama banger sih. Udah, tinggal lu doang”sahut Bagas dengan jengkel.
“Maklum lah, Iwan kan kutu buku” ucap Neni.
“Tapi kan imut” sahutku, membuat suasana menjadi hangat.

Aku senang, mereka bisa melupakan satu hal membuat mereka murung. Dengan tertawa lepas. Aku pun juga merasa lupa dengan penyakit ini, jika dekat dengan mereka. Aku merasa sangat berarti, dihargai, dan aku merasa sangat bebas untuk berexpresi.
“Ow ya Wan, entar pulangnya bareng ya?” ucap Siska. Menghentikan gurawanku dengan Bagas.
“Eh.. ia…” jawabku gugup.
“Okey.. beb, entar tunggu di depan sama Iwan ya?” lanjutnya.
“Siiiippp…” jawab Bagas.

Bell masuk pun berbunyi, memecah keramaiyan suasana kantin. Dan seperti biasa, aku dan Neni masuk kelas paling akhir. Entah kenapa sorot matanya selalu mengawasiku. Semenjak pembicaraan terakhirku dengan Siska.
“Apa mungkin dia tau. Semoga saja tidak” batinku.
“Eh, wan”
“Apa?”
“Tadi kamu kenapa, waktu ditanya Siska kok gugup gitu?” ucapnya jelas.
“Apa…. Jangan-jangan, kamu suka ya, sama Sisika?” lanjutnya.
“LAAABBB….”

Bagai cayaha perit yang melinyas di depan mataku. Aku tak menduga Neni akan menanyakan hal ini. Aku harus jawab apa? Tapi memang itu yang aku rasakan.
“Kok diem. Bener, kamu suka sama Siska?” lanjutnya, dengan senyum mengejek.
“Udah, jangan kayak gitu ahh. Aku gak mau dia tau tentang perasaan ini. Akuy gak mau, hubunganya dengan Bagas rusak, hanya gara-gara aku” jawabku dalam.
“Nen, Bagas itu temenku,Siska juga. Dan aku gak mau ngerusak hubungan mereka” lanjutku.

Entah kenapa langkah kakinya terhenti, setelah mendengar penjelasanku.
“Nen, pliss. Tolong rahasiakan tentang hal ini sama merekan ya, aku mohon” ucapku.

Tanpa ada sahutan darinya, hanya anggukan kepala yang di isyaratkan padaku. Entah karana dia kehabisan kata-kata untuk menjawab, atau bagaimana aku tak mengerti. Setelah masuk kedalam kelas. Aku merasa ragu dengan Neni, untuk tidak mengatakan hal itu kepada Siska. Apa lagi, mereka duduk satu bangku. Sedangkan aku dan Bagas, duduk di bangku paling belakang. Neni selalu saja melihat ke arahku dengan tatapan sinisnya.
“Haaaaahhhh…. Rumus apaan ini” eluh Bagas.
“Mana..??” sahutku.
“Tuh, yang x+y bla, bla, bla..” sahutnya jengkel.
“Masak sih, gitu aja gak bisa” sindirku.
“Yeee…. Lu mah enak. Jagonya Matematika di kelas. Lha gua, bisa apa? Ampun dah lok masalah ginian”
“Hahaha…. Bisa aja lu Gas”
‘Bagas, bisa terangkan rumus ini” potong pak Romli dari depan.
“Dari tadi saya liat kamu ngobrol saja. Ayo maju!” lanjutnya.
“Mampus gua” sahut Bagas lirih.
“Makan tuh spidol” ejekku.

Bukan hal baru kalau Bagas selalu disuruh maju untuk menerangkan rumus yang dia sendiri tidak tau.
“HHUUUUU…..”

Sorak semua anak dalam kelas saat Bagas maju dengan sangat malu. Apa lagi sampai ditertawakan oleh banyak anak. Mungkin baginya, suasana kelas tidak akan rame kalok dia gak kenak sama pak Romli. Aku rasa, Bagas sudah kebal dengan itu. Sok lah, cowok paling ganteng sekelas. Apa lagi dia pemain inti tim basket di sekolah. Pastinya banyak yang nge-fans sama Bagas. Meskipun bintang basket, Bagas bukanlah anak yang sombong. Justru dia sangat akrab , dan sering “Melawak” dengan teman-temannya. Sampai, dia dijuluki “Bagas si A.L”(Angkatan Ludruk). Tak salah, Siska menyukainya. Berbeda denganku, yang hanya kutu buku, meskipun aku kerap bergurau, tapi aku sangat tertutup.
“Kring, Kirng, Kiriiiiinnnngggggg……”

Bell tanda pulang sekolah berbunyi. Kekhawatiranku memuncak, saat Siska menarik tanggan Neni. Aku tidak tau apa yang akan dibicarakan mereka berdua. Aku takut, Neni memberitahukan perasaanku ke Siska.
“Jangan sampai,Neni bilang tentang perasaanku ke Siska. Mereka kemana sih? Kenapa tadi aku keceplosan ngomong ke Neni, bodoh banget sih” batinku.
“Tuh mereka” ucap Bagas, dengan menunjuk ke arah kamar mandi.
“Yuk pulang” sahut Siska, dengan menggandeng tangan Bagas.
“Eh.. Kamu gak bilang apa-apa kan ke Siska?” bisikku ke Neni
“Hus ahh, diem. Dari pada dia tau”jawabnya lirih.

Sontak ku terkejud dengan ucapan yang keluar dari bibir kecilnya. Tapi aku lega, dia tidak berkata apapun kepada Siska.
“Hari ini, aku merasa sangat berbeda. Emtah kenapa perasaanku sedikit cemburu dengan temanku sendiri. Melihat tawa bahagianya, mungkin cukup untuk ku jadikan kenangan semasa hidupku. Andai, aku selalu bisa melihat senyum manismu. Meskipun, aku tak bisa memilikimu.”
“Heh, ngelamun aja, kenapa?” tanya Neni.
“Eh… gak papa” jawabku singkat.
“Udah, kamu yang tabah ya, mungkin kamu perlu waktu buat bilang sendiri ke dia” ucapnya.
“Gak papa kok Nen, aku tau kok. Asalkan dia bahagia, aku juga pun ikut bahagia. Itu kan yang disebut cinta. Meskipun aku harus memendam perasaan ini” sahutku.
“Asal kamu tau Nen. Meskipun aku bersamanya, aku hanya akan mengecewakannya. Penyakit ini sudah semakin parah. Dan aku tak akan bertahan lama lagi” batinku.
“AWWWWAAAAASSSSS” teriak Bagas, sambil mendorong kami menepi.
“BRRAAAAKKK”

Bagas tertabrak, dia jatuh tersungkur.tapi mobil itu terus saja jalan.
“BAGAS” teriak histesis Siska.

Aku langsung berlari mendekati Bagas
“Gas… Bagas…” ucapku panik.

Aku mulai cemas dengan kondisi Bagas yang banyak mengeluarkan darah dari mulutnya.
“Bagas… jangan tingalin aku sendiri…” ucap Siska yang tak bisa menahan air matanya
“Ehh… aku cari bantuan kewarga sekitar dulu” sahut Neni.

Ia langsung berlari sekencang mungkin untuk mendapat bantuan dari warga sekitar. Namun aku tak yakin, dia datang dengan bantuan warga dengan cepat.
“Uhuukk, uhhuukk… Iwan…” ucap Bagas lirih.
“Iyahh… aku disini…” sahutku gemetar.
“Tolong, lu jaga Siska. Gua tau, lu saying sama dia..” ucapnya.
“Aku titip dia sama lu” lanjutnya, sebelum nafas terakhirnya.
“Iyaaa…. Pasti…” jawabku.
“Bagas…..” teriak Siska.

Tangisnya memuncak. Aku hanya bisa memeluk dan menenangkannya. Neni yang kembalipun serasa percuma. Bagsa telah tiada. Dia pergi mendahuluiku.
“Seharusnya, bukan lu yang ngucapin kata-kata terakhir seprti itu, tapi gua. Maaf, aku gak mungkin bisa menepati janji itu. Tapi aku akan berusaha menjaganya, hingga jantung ini berhenti untuk berdetak” batinku.

Seminggu setelah kejadian itu. Siska hanya bisa terdiam merenung ditaman sekolah saat jam istirahat. Dia selalu bersedih memingat kejadian itu.
“Hei…” sapaku.
“Aku cari-cari ternyata ada disini. Udah ditungguin sama Neni di kantin tuh” lanjutku.
“Aku gak nafsu makan” jawabnya singkat.
“Kenapa…”
“Kamu pergi aja, aku mau sendiri” potongnya.
“tapi kan…”
“Udah kamu pergia aja” potongnya lagi.
“Kenapa semua harus berakhir seperti ini, kenapa harus aku yang merasakannya. Ini gak adil. Tuhan gak adil” ucapnya, menghentikan langkahku.
“Kalok kamu berfikir begini, kamu salah” ucapku tegas.
“Kalok kamu terus-terusan begini, kamu kalah. Tuhan gak mungkin kasih kita cobaan yang melebihi batas kemampuan kita”lanjudku.
“Tapi kenapa harus Bagas” teriaknya.
“Ini takdir. Dan hanya Tuhan yang tau, siapa yang harus manghadap pada-Nya sewaktu-waktu” ucapku tegas.

Akupun langsung berlari meninggalkannya begitu saja. Aku tak ingin pembicaraan itu berlanjut. Aku tidak ingin menunjukan air mataku dihadapan Siska. Aku berlari sekencang mungkin, perasaanku muali tidak enak, ada suatu hal yang akn terjadi kepadaku. Akupun memutuskan untuk mengambil tas, dan bergegas pulang.
“Uhhuuukkk, uhhhuuuukk… darah… mulutku mengeluarkan darah”
“Maaa… Paaaa…” rintihku.

Badanku terasa sangat lemas. Aku tak sanggup lagi untuk berjalan masuk ke ruang tamu.
“BRUUKK…”
“Bagaimana dok? Bagaimana keadaan anak saya?” Tanya mamaku cemas.
“Maaf, kondisi anak ibu sudah semakin melemah, saya takut tim medis tidak dapat menyelamatkannya. Sekarang anak ibu sudah siuman”jawab dokter.
“Saya boleh melihatnya dok?”sahutnya.
“Silakan”
“Iwan… kamu udah sadar saying?” ucap mamaku. Ia terdengar sengat gelisah.
“ maaa…. Aku boleh minta kertas masa bolpoinya gak?”rintihku.
“buat apa sayang?”
“aku mau nulis sesuatu buat temenku” jawabku.

Tanganku yang sangat lemas aku paksa untuk menulis surat terakhir untuk Neni dan Siska. Aku yakin , aku tak akan bertahan lama lagi.
“Maa… aku titip ini buat Neni ya” ucapku.

Nafasku ternenti.
“TTTIIIIITTTTTTTT….”

Keesokan harinya. Saat Neni ingin menjemput Iwan, ia terkejud dengan kerumuna tetamgga Iwan yang duduk di dipan teras rumahnya. Neni yang merasa ada hal yang aneh, langsung saja masuk.
“Om, tante. Ada apa ini, kok banyak orang di depan, Iwannya mana?”

Tanpa ada sahutan dari kedua orang tua Iwan, ia langsung masuk ke ruang tamu. Ia menemukan sesosok jasad tertutup kain putih. Ia terkejud dan menahan tangusnya.
“Om, tante, itu bkan iwan kan?”
“jawab om, tante, kenapa iwan?”

Air mata Neni tak bisa dibendung lagi.
“ itu memeng iwan Nen, ia sudah meninggal”sahut mama iwan.
“gak… gak mungkin” sahutnya.

Nenipun berlari menuju sekolah dan membri tahukan kepada teman-temannya tentang hal itu. Dan semua teman-temannya pergi untuk mengantarkan jasad Iwan ke pengistirahatannya yang terakhir.
“Nen maaf, tante gak pernah cerita tentang penyakit yang diderita Iwan. Sudah 3 tahun Iwan menderita penyakit kangker otek, hingga stadium akhir. Dan sebelun Iwan meninggal, dia nenitipkan buku diary ini dan dua pucuk surat buat kamu”ucap mama Iwan, setelah pemakaman selesai.

“Dear Neni.

Maaf ya Nen, aku dan orang tuaku tidak pernah memberitahukan tentang penyakit yang aku derita selama ini. Aku tidak ingin dimanja oleh teman-teman, terlebih denganmu.

Aku mau ngucapin terima kasih, karena kamu gak bilang apa-apa tentang perasaanku ke Siska waktu itu. aku juga mau bilang terima kasih, karena kamu selalu jemput aku pagi-pagi, buat berangkat sekolah bareng. Kita selelu berbagi cerita, canda, tawa, tapi hari ini, aku tidak ingin kamu nangis Cuma gara-gara aku pergi. Aku akan tetap berada dekat denganmu, di dalam hatimu.

Maaf, kita gak bisa berangkat bareng lagi, gak bisa berbagi cerita lagi, gak bisa ketawa bareng lagi. Tapi ini memang jalan takdirku.

Salam termanis


Iwan”

Saat Neni beranjak dari makam Iwan, ia melihat seseorang yang mengamatinya dari jauh.
“Siska…kenapa kamu disini?” ucap Neni.
“Eh… gakpapa” jwabnya, dan ingn langsung pergi.
“Sis.. Ini ada surat, titipan dari Iwan buat kamu” Ucap Nine, menghentikan langkah Siska.
“Surat apa?” sahutnya.
“Kamu baca sendiri aja, aku pergi dulu” ucap Neni, dan langsung meninggalkan Siska sendiri di tempat pemakaman.

“Dear Siska.

Maaf, aku gak bisa mengatakan padamu, tentang perasaanku. Aku memang sangat pengecut, tapi aku gak mau kamu lebih menyesal. Jika kamu tau tentang perasaanku waktu itu. Saat pertama kita bertemu.

Sis, aku minta maaf, aku gak bisa nepatin janji aku ke Bagas. Aku yakin cepat atau lambat aku akan menyusulnya. Aku tau, penyakit ini akan terus semakin parah, dan penyakit ini telah menghancurkan semua angan-anganku. Namun, andai kau tau. Aku mencintaimu lebih dari yang kau tau. Selamanya, aku akan terus menjagamu. Meski raga ini telah tiada.

Sis, aku harap. Kepergianku ini tidak akan menjadi beban batinmu. Tuhan itu sangat adil, ia memberikanku kenangan terindah selama hidupku, yaitu kamu. Tuhan yang mempertemukan aku denganmu. Meskipun aku tidak bisa memilikimu, tapi aku bersyukur dapat mengenalmu dan merasakan apa itu cinta sejati, cinta yang sampai mati.

Tetaplah tersenyum untukku. Karena disini, aku akan selalu ingin melihat senyum manismu. Dan maaf, mungkin ini surat terakhir yang aku berikan untukmu.

Loving you

Iwan”

“Kenapa aku harus ditinggalkan oleh orang-orang yang sayang sama aku. Apa ini memang takdirku…? Adilkah ini…? Jika memang Tuhan adil. Kenapa dua orang yang sangat sayang sama aku harus diambil…?”
“Andai Kua Tau”

Mencoba memahamimu.
Menentukan sikapku
Agar kau tak pergi dariku
Meski hati ini teklah rapuh
Atas semua sikapmu kepadaku

Semua yang kau ucapkan
Bukanlah jalan terbaik
Namun sebuah keputusasaan
Yang ada dihatimu itu
Tak pernah mempercayai
Kenyataan yang telah terjadi

Ini bukanlah mimpi buruk
Namun sebuah kenyataan
Memang sulit untuk kau terima
Apa yang sudah terjadi

Andai kau tau
Bukan hanya dirinya yang mencintaimu
Dengan sepenuh hati
Tapi pandanglah aku
Yang mencintaimu dengan segenap jiwa ini
Hingga waktu yang ku punya usai

Labels: ,