Rarantika - Cerpen Islam

RARANTIKA
Karya Irna Octarina

 Waktu liburan yang panjang sudah menantiku, uas sudah berakhir beberapa minggu yang lalu. Kini aku tinggal menunggu hasil nilai yang tak kunjung keluar. Dua bulan, ya aku libur selama 2 bulan tapi itu tak masalah bagiku karena aku sudah menyiapkan ribuan agenda untuk aku lakukan selama liburan awal semester ini. Agenda pertamaku adalah merapikan buku-buku di lemariku yang berantakan, entah sudah berapa lama aku tak merapikannya. Kukeluarkan semua buku dari lemari dan semua buku berhamburan di kamarku, hingga perhatianku tertuju pada buku biru tua yang sudah lama tak kubuka. BTS SMP ku, sudah lama aku tak melihatnya. Aku buka halaman pertama yang berisi namaku “Raisya Miranti”. Kubuka halaman demi halaman, hingga membuatku mengingat lagi masa-masa itu. Masa yang kuhabiskan bersama Randu Mahardika.
***

“Ra nanti sehabis pulang sekolah belajar bareng yuk, aku masih bingung sama materi yang tadi dijelasin bu Zaza”
“Ayo, seperti biasa ya ngerjainnya di bawah pohon sebelah rumahku”
Randu pun mengiyakan, kami sering mengerjakan pr bersama ataupun sekedar ngobrol di bawah pohon itu. Pohon Rarantika namanya, Randu yang memberikan nama pada pohon itu. Kami berdua adalah sepasang sahabat, kami sangat dekat. Awal kedekatan kami bermula saat kami berada di bangku kelas 3 SMP, aku duduk di depan Randu dan sejak saat itu kami sering mendiskusikan pelajaran hingga akhirnya saling curhat ketika salah satu dari kami ada yang mempunyai masalah.

Rarantika
Hari-hari telah kami lalui bersama, belajar mati-matian demi mendapatkan nilai bagus untuk ujian nasional atau yang biasa disebut UAN hingga kami dihadapkan pada hal yang kurang mengenakkan. Aku tidak lagi satu sekolah dengan Randu, ia memilih untuk melanjutkan sekolahnya di SMA Jaya Bangsa sedangkan aku melanjutkan sekolah di SMK Purna Kusuma. Meskipun begitu, kami tak pernah merasa terpisah karena jarak antara sekolahku dengan Randu tidak jauh, hanya sekitar 2 kilometer. Haha dekat sekali bukan..

Terkadang Randu menjemputku ke sekolah bila aku tak ada teman pulang karena aku tak berani bila harus pulang dengan menaiki bis sendirian, bahkan Randu pernah menungguku hampir selama satu jam karena aku menunggu temanku dijemput oleh kakaknya. Tapi aku merasa kedeketanku dengan Randu, bukan lagi kedekatan sebagai sepasang sahabat. Ada perasaan lain yang bergejolak di dalam hatiku, entah perasaan apa itu. Dan ternyata Randu pun merasakan apa yang aku rasakan. Hingga tepatnya pada tanggal 14 April 2011 ia mengungkapkan perasaannya padaku,
“Ra aku suka sama kamu, aku ngga tau kenapa rasa ini bisa ada. Tapi rasa itu muncul begitu aja”.
“Sebenernya aku juga sama kamu Ran”, tiba-tiba aku sangat malu berada di hadapan Randi.

Semenjak itu ada yang berubah, Randu semakin perhatian kepadaku. Kami pun semakin sering smsan, tapi tak ada kata pacaran diantara kami. Aku pun tak tau mengapa.
“Raisya aku pengen kita punya panggilan yang beda”
“Maksudnya beda gimana Ran?”
“Gimana kalo ngomong aku kamunya pake bahasa Jerman aja, kan unik tuh”, ucapnya sambil mengedipkan matanya yang sebenarnya tidak kelilipan.
“Ngga mau ah aku ngga ngerti, aku lebih suka pake bahasa Korea” .
“Yah aku juga gamau, biar adil mending digabung aja. Untuk yang aku pake bahasa Korea “na”, yang kamu pake bahasa Jerman “du”.
Sejak saat itu kami mulai terbiasa dengan panggilan “du” dan “na”. Ia pun mulai menceritakan kepadaku mengapa ia menamai pohon sebelah rumahku dengan nama Pohon Rarantika, ternyata itu adalah singkatan dari nama kami berdua, RAisya RANdu miranTI mahardiKA. Semenjak Randu mengungkapkan perasaannya padaku, ia menjadi lebih romantis. Tak jarang ia memberikan setangkai mawar putih kesukaanku.

Hingga pada suatu hari aku merasa bahwa apa yang selama ini aku lakukan bersama Randu adalah sebuah kesalahan. Meski kami tak berpacaran, tapi lama kelamaan aku malu dengan kedekatan kami. Terlebih lagi aku mulai mengenakan jilbab yang agak lebar. Aku mulai menyadari hal ini sejak dua tahun belakangan aku aktif dalam kegiatan mentoring di sekolahku. Kak Putri –kakak mentorku- ia sering memberi tahu tentang batasan-batasan dengan lawan jenis. Aku sangat kagum padanya, karena hingga pernikahannya ia jarang sekali berkirim pesan dengan lelaki yang bukan mahramnya kecuali bila itu sangat mendesak. Bahkan menurutku ia mampu menjaga dirinya dari berkhalwat (berdua-duaan) dengan lawan jenis, baik dalam sms maupun percakapan. Karena ia lebih sering menunduk ketika berbicara dengan lelaki yang bukan mahramnya. Dan aku pun ingin seperti ka Putri.

Sejak saat itu aku mulai menjauh dari Randu, bahkan bila ia mengirimiku pesan aku hanya membalas sekedarnya saja. Aku pun sudah tak lagi menggunakan panggilan na dan du, meski sampai sekarang Randu masih menggunakan panggilan itu. Awalnya semua ini terasa berat bagiku, karena tak mudah melupakan Randu. Ia sangat baik padaku, bahkan pada saat kecelakaan yang menimpaku beberapa bulan lalu, Randulah yang menemaniku di rumah sakit dan mengantarkanku sampai ke rumah.
***

Lama kelamaan Randu pun semakin jauh dariku, kami mulai sibuk dengan dunia masing-masing. Aku mulai ikut tes kesana-kemari untuk melanjutkan pendidikan di jenjang yang lebih tinggi. Hingga akhirnya, perjuanganku tidak sia-sia. Aku diterima di salah satu perguruan tinggi negeri di Jakarta Aku pun tak tau dimana Randu kuliah sekarang.
Pucuk dicinta ulam pun tiba, Randu mengirimiku sebuah pesan.
Randu : Raisya apa kabar?
Raisya : Alhamdulillah baik, kuliah dimana Ran?
Randu : Na kuliah di Untirta, jurusan teknik mesin. Kalo du?
Raisya : Aku kuliah di UIN Syahid, jurusan pendidikan bahasa inggris
Randu pun mulai bertanya padaku, apakah aku masih menyukainya. Karena sejak beberapa waktu lalu kedekatan kami sudah tidak lagi seintens dulu. Aku jawab semuanya, dan aku pun menceritakan keinginanku untuk menjadi seperti kak Putri –yang mampu menjaga hatinya hanya untuk suaminya-. Perlahan Randu mulai mengerti apa yang aku katakan, ia pun menyadari kalau apa yang selama ini kita lakukan adalah sebuah kesalahan, rasa cinta yang hadir di waktu yang belum tepat. Sejak saat itu, kami mulai menjaga jarak tapi bukan berarti memutuskan jarak.
***

Tak terasa air mata jatuh secara perlahan di wajahku, aku teringat lagi dengan Randu. Pesan terakhirnya masih aku simpan dalam buku harianku.
“Satu hal yang perlu du tau, pada saat na masih SMA dulu. Na belajar mati-matian biar bisa masuk di kelas ipa, itu demi du padahal sebelumnya na gak yakin bisa masuk ipa. Terus na berusaha biar bisa masuk di Untirta demi du juga. Na akan belajar yang rajin biar bisa jadi engineer yang sukses dan nati bisa ngelamar du. Jadilah wanita istimewa di mata lelaki dan istri idaman, dan mudah-mudahan na yang mendapatkan istri idaman itu kelak. Aamiin. Dan na juga masih nyimpen kado ulang tahun buat du dari tahun 2011 dan sekarang ada 2 kado yang na simpen buat du”.

Biarlah semua kenangan manis itu tersimpan rapi di lemariku. Meskipun aku dan Randu terpisah oleh jarak tapi kenangan di bawah pohon Rarantika itu tak akan pernah terlupakan dan aku percaya bahwa jodoh itu tak akan pernah tertukar.
--------

No. Urut : 438
Tanggal Kirim : 18/01/2013 19:00:11

Labels: ,