Yang Terbingkai Menjadi Bangkai - Cerpen Sedih

YANG TERBINGKAI MENJADI BANGKAI
Karya Daviatul Umam el-S

Pagi ini, dengan tegar aku terus berjalan menjelajahi trotoar. Membawa sepotong kayu kecil dipakui gerincing sambil bernyanyi di depan warung, toko, serta orang-orang yang sedang asyik ngobrol bersama. Rasa malu tak boleh kupakai demi mendapatkan rejeki yang halal. Aku menjalaninya dalam wajah kegirangan. Syukurlah, baru beberapa menit telah kudapati uang Rp. 7000. Tuhan benar-benar maha penyayang. Semakin mendorongku untuk lebih semangat bekerja.

Tak lama kemudian... mataku terpanggil lampu lalu lintas tengah berwarna merah. Kendaraan-kendaraan yang ingin melewatinya berhenti semua. Kuhampiri mobil hitam bertuliskan Avanza di belakangnya. Lalu kunyanyikan lagu-lagu sendu disamping kanan kaca depannya seraya kugoncangkan sesuatu yang kubawa dengan kocak. Tiba-tiba, dibukalah kaca itu oleh pengemudinya.
“Subhanallah...,” ucapku dalam hati. Baru kali ini aku melihat makhluk tampan. Ditambah senyuman yang menjadi bumbu di wajahnya. Semakin menawan untuk kupandang. Sungguh malu diriku saat ini. Menerima uang darinya sebanyak Rp. 200.000.
“Maaf, Pak. Uang ini terlalu banyak,” ujarku sambil mengulurkan uang tersebut.
“Sudah, gak apa-apa. Ambil saja!,” tanggapnya, santun.
“Tapi...” lampu lalu lintas telah berganti hijau. Sehingga kaca mobilnya sudah tertutup kembali dan melanjutkan perjalanan. Membuat perkataanku terpotong tak terarah.
***

Yang Terbingkai Menjadi Bangkai
Di rumah, aku menceritakan pengalamanku sama bapak diwaktu aku bekerja siang tadi, walaupaun sebentar. Tapi, aku kecewa. Bapak hanya tertawa terbahak-bahak setalah mendengarkan semua yang kuceritakan. Padahal... aku ingin disanjung karena telah mendapatkan uang banyak.
“Ah, bapak ini mengecewakan Rina.”
“Lho!, emangnya ada yang salah dengan bapak?.”
“Nggak, sih. Tapi, kenapa bapak tertawa?.”
“Aduh... kirain kenapa. Bapak tertawa, karena bapak bangga punya anak seperti kamu. Baru mulai bekerja, sudah membawa uang sebanyak itu. Kamu benar-benar hebat!.”
“Alhamdulillah, pak. Itupun berkat laki-laki itu. Kok bisa ya?, dia langsung memberikan uang sebanyak itu kepada Rina.”
“Mungkin, dia mencintaimu, nak.”
“I...h..., bapak ini ada-ada saja. Sudahlah, jangan diungkit-ungkit lagi. Lebih baik, kita istirahat dulu yuk, pak. Rina capek. Besok kan mau kerja lagi.”
“Benar, bapak juga capek, nih.”
***

Keesokan harinya, seperti kemarin aku kembali kerja. Terus mengamen di tempat-tempat seperti kemarin pula. Tanpa terasa, uang yang kupegang sudah berjumlah Rp. 15.000. cukup puas untuk memenuhi kebutuhan hidup kami dalam dua hari.
“Ya Allah, terimakasih Engkau telah menurunkan rejeki pada kami.”

Tak kusangka, mobil itu berhenti seketika di dekatku. Gimana ini?. Aku harus menghindar. Iya, aku harus lari. Rasa maluku akan bertambah, jika dia memberiku uang lagi. Tapi, gimana dengan cinta ini?. Ah, mustahil bagiku untuk memilikinya. Dia orang kaya. Sementara aku, hanya pengamen jalanan tak punya ibu. Hidup dengan seorang bapak ditimbun kefakiran. Mendingan, aku cepat-cepat lari.
“Hei...!, kenapa lari?.” Sejenak kuberhenti. Dia memanggilku. Apa yang akan kulakukan?. Aku merasa tidak enak padanya. Dia sudah memberiku uang banyak.
“Tunggu...!.” Aku kasihan. Lebih baik kutunggu saja, sekedar menghargainya.
“Kamu kok lari, sih?,” tanyanya dengan nafas tersendat-sendat.
“Maaf, pak,” jawabku, singkat dan gugup.
“Tolong, jangan panggil aku dengan sebutan itu. Namaku Jaka. Panggil saja, Jaka. Bisa kan!.”
“I...iya, Jaka.”
“Nah, gitu dong!. O,iya. Kalau boleh tahu, nama kamu siapa?.”
“Rina.”
“O...h, Rina.” Setelah itu, beberapa detik dia menghentikan perkataannya. Sambil lalu mengeluarkan dompet dari saku celana pensilnya.
“Ini ada sedikit uang untuk bekalmu,” ujarnya, menyodorkan tiga lembar uang padaku. Berjumlah Rp. 300.000.
“Bukannya aku tidak mau, nerima uang darimu. Tapi, uang yang kau berikan kemarin itu sudah terlalu banyak untuk kuterima,” tambahku, menolak.
“Anggap saja, uang ini kenang-kenangan dariku. Terimalah!, aku mohon.” Dia menawar tanggapanku. Terpaksa aku menerimanya dengan menampakkan wajah seri. Walau sebenarnya rasa malu semakin menyetubuhiku.
“Terimakasih. Semoga Tuhan menggantinya yang lebih besar padamu. Kalau gitu, aku pamit pulang dulu, ya!.”
“Sebentar, Rin. Ada yang perlu kubicarakan sama kamu.”
“Apa?.”
“Emmm...”
“Cepat!. Aku terburu-buru.” Ucapku, mendesak.
“Aku mencintaimu.” Singkat serta cepat, kata-kata itu terlontar dari mulutnya. Pura-pura ku tak peduli akan itu. Segeralah aku pulang menggunakan kecepatan kaki.
***

Usai langkahku menginjak beranda rumah, kembali kuceritakan kejadian yang kualami barusan. Sekarang, bapak tertawa lagi. Tapi, aku sudah tahu apa maksudnya. Pasti bapak membanggakanku.
“Permisi...” Aneh, Jaka kok bisa tahu arah menuju rumah ini?. Padahal, aku tak pernah memberitahukannya. Dan mau apa dia kesini?.
“Iya. Kemari, nak!.” Bapak mempersilahkannya. Jaka pun masuk dan langsung duduk di lantai tak beralas, di depan bapak. Kemudian, dia memperkenalkan dirinya sambil berjabatan tangan dengan bapak.
“Dialah yang memberi uang sebanyak itu kepada Rina, pak,” aku mempertunjukkan kebaikannya.
“O...h, ternyata ini orang yang kau maksud mulai kemarin!,” seru bapak untuk meyakinkan dirinya.
“Benar, pak,” tambahku. Begitu bapak sudah mengerti, dengan sangat bapak mengucapkan terimakasih padanya. Namun, Jaka hanya menjawab dengan senyuman.

Beberapa menit kemudian...
“Ngomong-ngomong, kedatangan saya kemari untuk...” Ada keraguan di mata Jaka dalam mengungkapkan perkataannya.
“Untuk apa?. Silahkan, jangan ragu-ragu,” balas bapak.
“Begini, pak. Saya bermaksud untuk melamar Rina.” Jantungku berdansa saat mendengar suara itu.
“Ya, iya. Tapi, maaf. Bapak tidak bisa berpihak dalam hal tersebut. Semua jawaban ada di tangan Rina,” bapak mengelak, memasrahkannya padaku.
“Akupun juga minta maaf. Aku tidak bisa pula berpihak dalam hidupmu.” Kendati aku sangat mencintainya, kurasa tidak secepat ini aku harus jadi istrinya.
“Maksudmu?.” Dia kebingungan, sampai mengerutkan dahinya.
“Aku benar-benar minta maaf, Jak. Aku hanya ingin hidup bersama bapak tanpa terhalangi siapapun. Alangkah baiknya, kita temenan saja.”
“Aku mohon, Rin. Terimalah aku!. Apapun akan kuberikan, jika itu merupakan persyaratan. Atau uang yang kuberikan masih kurang?. Demi kamu, akan kutambah, Rin.”
“Sekali lagi aku minta maaf. Aku tidak butuh persyaratan. Dan, aku bukan barang.Yang bisa dibeli dan ditawar. Cepat pergi!. Kau fikir, kamu bisa menguasai segalanya dengan uang!. Kalau kamu gak rela, akan kukembalikan sekarang juga.”
“Gak perlu, Rin. Aku akan pergi dari sini.” Berakhirlah percakapan kami setelah dia melontarkan kata-kata itu. Perlahan dia keluar dari beranda, sehingga langkah demi langkahnya telah tak terlihat. Sedangkan bapak hanya membisu, menggeleng-gelengkan kepala.
***

Tanpa terasa lama, waktu menghipnotisku telah menjadi satu minggu sampai sekarang. Heran, dalam minggu ini, Jaka tak pernah muncul di mataku. Apa dia marah akan semua perkataanku?. Baru saat ini, aku merindukan sosok itu. Rindu yang mendalam. Tapi, kehadirannya sudah kutolak. Sudahlah, tak usah kufikirkan perasaanku ini. Yang harus kufikirkan tentang kelakuannya. Sejak dia terbit di hadapanku, wajahnya menunjukkan banyak kebaikan. Namun, kenyataan tiba-tiba saja bertandang dalam kepastian. Mentang dirinya kaya, dia berbuat seenaknya dengan uang. Ah..., malas aku mengingatnya.
“Nak Rina!.” Bersama colekan tangan di pundakku, suara itu terbias dari belakang. Segeralah aku menoleh dengan kaget.
“Nenek!, kirain siapa. Ada apa, nek?.” Ternyata nek Sambi, seorang nenek bertempat tinggal di sebelah timur rumahku. Rasa kaget tertelan oleh wajahnya.
“Cepat pulang, nak!. Keadaan di rumahmu dalam keadaan gawat,” jawab nek Sambi, penuh keresahan.

Tak banyak pertanyaan, hatiku ditemani penasaran. Kulempar alat ngamen yang kupegang. Secepat mungkin aku harus menyaksikan keadaan di rumah.
“Kenapa riuh, dan banyak orang?,” ucapku lirih, ketika jejakku menempati dekat pagar antara lorong dan rumah. Lalu, kuhampiri bapak yang terlihat kebingungan menghadapi orang-orang itu.
“Astaghfirullah!,” aku terkejut. Di depan mereka, ada Jaka dan dua brewok disamping kanan serta kirinya.
“Lihat, bapak-bapak, ibu-ibu!. Gadis inilah yang mengikat janji dusta. Saya dimintai uang banyak olehnya, sebagai syarat untuk saya kawini. Tapi, setelah saya memenuhi persyaratan itu, dia pura-pura tidak ingat akan janjinya. Dan menolak lamaran saya. Lebih parahnya lagi, uang yang saya berikan sudah habis dimakan!.” Seperti orang berdakwah, Jaka menyaringkan suara kepada mereka. 

Akhirnya, mereka bersorak-sorak, tanda mengejek pada kami.
“Diam, diam...!,” aku berteriak. Terdiamlah mereka.
“Dia bohong!. Aku tak pernah melakukan janji itu,” aku melanjutkan teriakan, sekuat tenaga.
“Sudah, jangan sembunyikan lagi rahasiamu. Sekarang, cepat kembalikan uangku!. Kalau tidak, aku dan anak buahku ini akan mengusir kalian secara paksa.” Jaka semakin membentak.
“Nak, kenapa kamu tega memfitnah Rina seperti ini?. Maaf, jika perbuatannya tidak seperti apa yang kau inginkan. Kasihanilah kami, nak. Uangmu sudah kami pakai untuk makan dan juga bayar hutang. Dimana kami akan bertempat tinggal?, jika kami terusir dari sini!.” Seraya berlutut serta menangis, bapak minta keringanan pada Jaka di hadapannya. Sia-sia, sama sekali dia tak menghiraukan.
“Sudah, pak. Bangun!. Ayo kita pergi dari sini. Tidak ada gunanya bapak mengemis-ngemis pada orang licik seperti dia.” Tak tega diriku melihatnya, dijadikan budak oleh Jaka. Kubangkitkan tubuhnya alun-alun. Kemudian, kami pergi menggendong kegalauan dan kesedihan. Diiringi sorakan serta ejekan mereka yang tak tahu alur kejadian sesungguhnya.

22-April-2012.

PROFIL PENULIS
Pemuda yang berkelahiran di Sumenep, 18-September-1996. Kini tercatat sebagai santri PP. Annuqayah daerah Lubangsa blok D/05, Guluk-guluk, Sumenep, Madura, JATIM. Aktif di Sanggar ANDALAS dan Teater Nanggala. Rumah asal Pulau Poteran, Sumenep, Madura.

Labels: ,