Kabur Yang Kurang Mujur - Cerpen Remaja

KABUR YANG KURANG MUJUR
Karya Nadya Fairuz Rachman

Entah kenapa, olehku, hal seperti itu tiba-tiba terpikir. Saat itu, pikiranku mungkin sedang tidak mengalir.
“Gimana kalau kita kabur saja?”
Oh! Demi apa aku berkata seperti itu? Setan apa yang merasukiku?
Dan sialnya… aku dan temanku terlanjur termakan bujuk rayu itu!
.
.
Dimulai dari hari Sabtu pagi yang sama sekali tidak ada yang menarik. Tugas memang tidak ada, tapi perasaan di dalam sanubari serasa tercabik-cabik.
‘Anak itu harus disadarkan!’ pikirku kesal. Apa karena dia, Zofi, anak orang yang cukup berpengaruh, makanya dia bisa berkata seenak jidatnya yang seluas lapangan sepak bola?
“Fotonya boleh minta satu, ya, Ris?” Zofi bertanya, saat ia melihatku mengeluarkan beberapa lembar foto diriku yang berukuran 3x4, yang dibungkus rapi dengan plastik bening.

Kabur Yang Kurang Mujur
Foto itu kubawa karena memang seluruh siswa kelas 9 diharuskan membawanya hari ini untuk keperluan pendaftaran calon peserta UN tahun depan. Beserta ijazah dan sebagainya, dimasukkan dalam map, dan dikumpulkan.
“Buat apa? Buat pelet, ya? Sorry, aku ini nggak mempan sama yang begituan!” ucapku, agak sesumbar.
“Bukan, lha! Masa gue pelet sesama cowok? Idih!” Zofi meringis, lalu menatapku aneh. “Mau gue simpen di dapur, tahu!”
“Buat selalu mengingatkan kamu kalau kamu punya teman sekeren ini?” Yah, narsisku kambuh, rupanya.
“Bukan juga! Mau gue simpen di dapur. Lumayan, buat ngusir tikus-tikus di rumah gue. Huahaha…!” Zofi tertawa renyah dan nyaring.

Awalnya, aku merasa kesal, pun jengkel. Tapi cuma bertahan selang beberapa detik. Aku menanggapi dengan hanya tersenyum tipis, sebelum akhirnya terpercik sebuah kata-kata yang cukup cerdik.
“Oh, kamu salah, Zof!” sanggahku. “Justru, tikus-tikus di rumah kamu bakalan tambah banyak kalau kamu pajang fotoku di dapur!”
“Masa, sih? Emang bisa?” Zofi mencibir. “Gara-gara lihat wajah elo yang mirip komedian Sule, ya?”
“Salah! Justru karena kegantenganku, tikus-tikus dan bahkan orang-orang di rumahmu, malah jadi terpesona. Maklum, tampangku, ‘kan, sebelas dua belas sama personel boyband Korea.” Aku menggerak-gerakkan kedua alisku naik-turun, sembari nyengir. Kedua tanganku digunakan untuk menyisir rambutku yang agak cepak. “Iya, nggak?” tanyaku, meyakinkan Zofi yang kini manyun.
Dia menyerahkan kembali fotoku dengan gerakan hampir seperti melempar. Ia pun kembali ke bangkunya, dengan langkah yang sedikit dihentak-hentak. ‘Kesal karena kalah bicara, ya, Bos…?’
Ya, orang yang seperti itu sesekali juga perlu diberi tahu. Kata Farhan, kakakku, orang sombong harus disombongi pula. Itu hukumnya sedekah…!
.
.
Waktu bel berbunyi nyaring, tadinya aku juga ingin cepat-cepat berpaling. Pulang ke rumah, tidur, beres!

Tapi, kalau saja aku tidak ingat kalau hari ini ada kegiatan ekstrakurikuler, tentunya. Sudah begitu, Kania, perempuan teman sekelasku yang bersuara sopran, meneriakiku yang berada di ambang pintu gerbang.
“FARIS! LATIHAN UPACARA, WOY!”
Ukh! Kuping ini berdenging waktu dia berteriak satu meter di depan wajahku. Seketika saja, orang-orang yang berlalu-lalang mencuri-curi pandang ke arah kami. Ada yang meledek karena melihat aku, yang seorang laki-laki, diteriaki oleh Kania, seorang perempuan yang ‘galak’. Ada juga yang berdeham-deham, dikira pertengkaran sesama pacar. Mau tidak mau, aku berbalik mengikuti Kania dan kembali ke lapangan untuk latihan.
Tapi… apa yang terjadi?
Latihan ini tidak berjalan baik sama sekali! Kalau boleh memuji, maka aku akan memuji kinerja diriku sendiri. Bukannya sombong, tapi memang begitu kenyataannya, kok!
Katanya, supaya unik dan beda dari yang lain, maka petugas upacara di kelasku semuanya laki-laki. Termasuk aku, yang kebagian tugas menjadi dirigen.
Sayangnya, hampir semua murid laki-laki yang menjadi petugas, sukar disuruh serius walau sebentar. Kalau mau mengingatkan, kita harus bersabar–kalau tidak mau kena semprot mereka. Dan, sepertinya… aku juga benar-benar harus ekstra sabar menghadapi ‘anak buahku’, alias kelompok paduan suara. Pasalnya, Kania yang tadi sempat membuatku sedikit malu dihadapan orang-orang dengan cara meneriakiku, malah enak-enakan jajan! Siapa pula yang tidak kesal?!
.
.
Sudah sejam lebih latihan upacara berlangsung dan menurutku, hasilnya tidak terlalu memuaskan. Yang lain melesat pulang, sementara aku tahu kalau hari ini adalah jadwal ekstrakurikuler BTQ.
“Hei, Faris!” Tiba-tiba, seseorang menepuk pundakku dari belakang. Refleks, aku menoleh. “Sukses buat Senin depan, ya, Bro?”
Aku cuma tersenyum. “Trims, San.”

Dia, Sandi, teman sekelas yang satu ekstrakurikuler denganku. Kebetulan, dia tidak kebagian menjadi petugas upacara Senin depan.
“Eh, sekarang ekskul BTQ, ‘kan?” tanyanya. “Ah, kok rasanya males, ya…?”
Aku nyengir, menggaruk belakang kepala yang tidak gatal, lalu mengangguk. “Sama, San. Hehehe….”
Entah kenapa, olehku, hal seperti itu tiba-tiba terpikir. Saat itu, pikiranku mungkin sedang tidak mengalir. “Gimana kalau kita kabur saja?”
Sandi menoleh, menatapku lekat-lekat. ‘Pasti dia nggak akan setuju pada usulku,’ batinku. ‘Sandi, ‘kan, anak yang alim!’
Alangkah terkejutnya aku sewaktu ia berkata, “Wuih! Ide bagus, tuh, Ris!”

Hah? Apa aku tidak salah dengar? Sandi, yang belum pernah sekalipun absen ekskul–kecuali bila sakit dan ada keperluan mendadak tentunya, tiba-tiba menjadi bermalas-malasan begini? Kalau aku, jangan ditanya. Walaupun aku mengikuti ekstrakurikuler Islami, tapi kakakku meledek dengan mengatakan bahwa tidak ada perubahan apapun yang signifikan dar diriku. Huh! Mentang-mentang dia sekolah di Madrasah Aliyah….
“Ya udah, kita kabur aja! Tapi jangan lewat depan mushala, ya? Kalau gitu, bukan kabur, namanya! Kita memutar lewat depan WC guru…!” Mendengar usulku, Sandi mengangguk setuju. Dengan segera, kami berdua berjalan ke dekat WC guru.

Saking berusaha ingin kabur, kami berjalan berjinjit dan jadi terlihat seperti kangguru Australia sedang berjalan. Beruntung, sekolah sudah sepi. Hanya ada beberapa murid dan anak penjaga sekolah yang masih kecil-kecil, yang masih berkeliaran di halaman. Jadi, tingkah laku kami nggak begitu mencolok, walau anak-anak seusia SD itu terus saja mengolok-olok.
‘Duh, firasatku nggak enak, nih….’

Dari jarak sekitar sepuluh meter, seorang siswi berjilbab putih panjang, tersenyum ke arah kami berdua. Aku yang tahu siapa orang itu, langsung berbalik dan berpura-pura membaca karya tulis di mading. Sesekali pula, aku bersiul. Sementara aku ber’kamuflase’, Sandi dengan naifnya, malah cengar-cengir membalas senyuman Khadijah.
“Alamak! Itu Khadijah, ‘kan?” kataku lirih, saat Khadijah berjalan menuju kantin untuk membeli camilan.
“Ho-oh!” jawab Sandi dengan tampang polosnya. “Emang kenapa, Ris?”

Kekesalanku pun membuncah, “Kamu tahu, Khadijah itu siapa?!”
“Ya ketua ekskul BTQ, lha! Masa udah tiga tahun kita gabung, kamu masih nggak tahu?”
“Bukan itu, San! Sadar, Coy! Sadar!” Makin kesal, aku pun mengguncang-guncang kencang bahu Sandi.
“Aku udah sadar dari tadi, Faris yang ganteng tiada tara…!” Anak laki-laki bermata sipit bak orang Tionghoa itu memang aneh! Sama seperti model rambutnya yang sudah ketinggalan jaman!
“Jangan bercanda, Sandi Nurwiadi!” aku memelototinya, “Misi kabur kita bisa gagal, San! GAGAL!”
“Oh iya, ya!” Sandi menepuk jidatnya, merasa kalau dia tidak melakukan kesalahan secuilpun. “Terus, gue harus galau sambil bilang ‘wow’, gitu?” Kembali dia memasang kembali wajah kekanakkannya yang kadang terasa memuakkan.
“Ini serius, Saaandiii…!” Anak ini membuatku gemas saja! “Malas aku kalau berlama-lama meladenimu!”
“Ya tinggal ngumpet aja, kali! Gitu aja, kok, repot?!” Temanku itu bisa manyun juga, ternyata.

Aku tertegun, dan… aha! Lampu ide seolah bersinar terang di atas ubun-ubun. “Benar juga, ya? Ayo cepat, kita naik ke atas sini!” Aku menunjuk sebatang pohon mangga yang tidak berbuah.
“Kamu gila, ya? Mau ngapain? Nanti dikira maling sama Pak Satpam, lagi! Udah gitu, kata orang-orang, di pohon-pohon yang kayak beginian suka ada penghuninya, Ris!” Yah… anak ini. Begitu saja, kok, nyalinya langsung ciut?!
“Alah! Pokoknya, kamu diem aja, deh! Tuh, lihat! Kayaknya itu Rezky, wakil ketua BTQ, lagi jalan menuju kesini! Kecuali kalau kamu mau diseret dan dicaci-maki, sih…” kataku, sambil menunjuk Rezky yang memang berjalan kemari. Sementara itu, kaki-kakiku mulai menapaki batang pohon yang kokoh.

Agak lama Sandi bengong. Dia bingung, antara naik atau tidak, tapi Rezky sudah semakin mendekat. Aku menunggunya sambil duduk-duduk di cabang pohon yang kuat dan terhalang dedaunan rindang. “Oke, oke! Aku naik ke sana.” Dalam hitungan beberapa detik, Sandi sudah duduk di dahan pohon yang lainnya.
“Sstt…! Jangan ribut! Tengok ke bawah, San! Ada si Rezky, nggak?” aku berbisik pada Sandi, yang duduk dibawahku.

Yang dimintai tolong, sedikit menundukkan kepala, menatap ke bawah. “Aman, Ris! Nggak ada Rezky maupun Khadijah, kok!”
“Eit, eit!” aku menahan pergelangan Sandi. “Tapi jangan dulu turun, ya? Masih ragu-ragu, sih.”
Sandi mengangguk paham. Kemudian, ia melirik arloji bermodel sport warna hitam miliknya. Pukul 12.00. Dua jam lamanya kita berada di tempat ini…?!
.
.
Aku menggosok-gosok mataku. Hei, apa yang terjadi?
“Hei, San… Sandi! Bangun, San! Jangan tidur disini.” Aku berusaha membangunkan temanku yang kelihatan pulas. Gaya tidurnya aneh; mulut menganga dengan tangan telentang. Sandi refleks terbangun, mengelap air liur yang telah mengering di sudut bibirnya. Yuck!
“Hmm?” dia celingukan. “Kenapa?”
“Nggak,” jawabku, “Jam berapa sekarang?”

Laki-laki sipit itu menolehkan pandangan kepada arloji kesayangannya. “Astaghfirullah! Jam 14.00, Coy!”
“Masya Allah!” aku terlonjak kaget. “Ciyus, San? Miapa?”
“Serius, Faris!” Sandi mengangkat jari telunjuk dan jari tengahnya. Seolah berbentuk huru ‘V’. “Peace!”
“Yah…. Percuma, dong, kita kabur,” keluhku, menghela napas kecewa. “Toh, anak-anak BTQ juga sudah pulang dari sejam lalu, ‘kan?”
Sandi mengangkat bahu. “Pulang aja, yuk?”

Tapi… naas! Alangkah terkejutnya kami. Begitu kami mendarat di bawah, ternyata anak-anak ekskul BTQ baru saja pulang. Pantas mereka berjalan secara rombongan.
“Hai, Faris! Hai, Sandi! Habis apa kalian di atas pohon? Kok nggak pulang, sih?”
Glek! Aku menelan ludah. Entah Sandi melakukan hal yang sama atau tidak.
Suara Khadijah… memang terdengar ramah. Tapi, karena aku yang kala itu tiba-tiba merasa bersalah, seolah mendengar gemuruh angin puting beliung ditengah sawah.
Ah! Sial!
Hal ini akhirnya menjadi pelajaran baru buatku, dan buat Sandi juga.
‘Niat kabur, malah kena uzur. Ini, sih, namanya betul-betul kabur yang kurang mujur…!’ batinku, penuh rasa yang bercampur aduk.

PROFIL PENULIS
Mau kasih kritik dan saran? Mau kenalan? Boleh. Bisa lewat :
Twitter : @NadyaFunadya
Facebook : Nadya Funadya
Nantikan karya-ku berikutnya. Sampai jumpa. :)

Labels: ,