Sepenggal Asa - Cerpen Cinta Remaja

SEPENGGAL ASA
Karya Ulfa Tapani

Dua orang gadis berjalan menghampiri Rena yang baru muncul di balik gerbang. Mereka menatap Rena tajam. Rena menarik nafas panjang. Peluhnya bercucuran setelah berjalan cukup lama untuk sampai ke sekolahnya. Rena membalas tatapan dua gadis itu dengan tatapan kaget. Mereka seolah akan melepaskan panah dari busurnya yang akan menusuk jantung Rena.
“Hai, upik abu! Baru datang ya? Pasti kamu cape kan? Ukh…. Orang lain itu pada naik motor, mobil mewah tapi kamu cuma berjalan kaki. Gak bermodal banget yah.” Raisa menghentikan kalimatnya. Rena memegang erat baskom yang berisi dagangannya. Ia menutup rapat matanya, semburan hinaan dan cacian siap menghujam jantungnya. “Makanya, kamu itu jangan maksain sekolah! Masa di sekolah elite seperti ini ada tukang gorengan? Gak banget deh!” Sembur Ana.

Sepenggal Asa
Rena mencoba mencari celah diantara mereka berdua untuk melarikan diri. Namun sayang Ana berhasil mencegahnya dan mendorong Rena hingga jatuh. Semua gorengan dagangan Rena tergeletak ditanah. Rena menatap semua gorengannya. Matanya berkaca-kaca,gorengan yang ia buat dipagi buta kini berserakan bersentuhan dengan tanah. Tangannya bergetar memunguti satu per satu gorengannya.
“Opss maaf ya, gak sengaja!” ujar Ana. Raisa menendang pelan baskom milik Rena. “Rasain tuh! Hahaha…” Raisa dan Ana tertawa terbahak-bahak meninggalkan Rena. Kini air mata Rena tak mampu lagi ditahan. Dengan kekuatan hatinya ia menghapus air bening yang membasahi pipinya itu.
“Aku harus kuat. Aku tidak boleh jadi orang lemah. Ya Allah, andai ayah masih hidup, andai ibu sehat, aku tidak akan semalang ini. Ya Allah berikan kekuatan pada hamba-Mu yang lemah ini. Aku tidak boleh menyerah! Aku harus bisa membantu kesembuhan ibu. Aku harus bisa membiayai sekolah adiku. Aku harus bangkit dari keterpurukan. “Rena menyatukan kembali kepingan- kepingan hatinya yang rapuh. Dengan perekat kesabarannya. Gorengan yang telah kotor itu selesai dibereskannya. Rena hanya menatap dingin gorengan yang mengigil itu. Rena berdiri tegak, bangkit dari keterpurukannya dengan kobaran api semangat.

Raja siang memancarkan semburat cahaya keemasannya. Debu jalanan beterbangan kian kemari. Aspal jalanan menguap. Hiruk-pikuk orang yang berlalu lalang kian kemari semakin membuat hawa siang itu kian panas. Rena menghampiri warung nasi yang biasa dilewatinya sepulang sekolah.
“Bu apa saya boleh bantu-bantu disini?” ucap rena Kepada pemilik warung. Ibu pemilik warung itu menatap iba Rena. Ia membatin “Dijaman seperti ini, ternyata masih ada anak sekolahan yang mencari uang sendiri. Buaknnya menikmati masa-masa indahnya, malah disuguhi dengan pahitnya hidup.” Rena menatap si ibu dengan penuh pengharapan.
“Euh… Iya boleh, kalau begitu kamu cuci piring saja ya di belakag. Tapi, hati-hati piringnya pecah.” Ujar si ibu. Rena tersenyum senang kemuadian menuruti perintah pemilik warung itu. Rena melipat lengan bajunya, kemudian menyatu dengan tumpukan piring-piring kotor, lalu kran, dan sabun colek. Dengan penuh hati-hati, Rena membersihkan piring-piring satu per satu.
“Sudah selesai?” Tanya ibu pemilik warung ketika melihat rena datang menghampiri. “Sudah bu… oh iya bu, apa saya boleh minta sebungkus nasi?” Tanya rena dengan penuh harapan. Ibu itu tersenyum kemudian memberikan sekantung bungkus nasi untuk untuk Rena. “ ini ibu sudah sisihkan 3 bungkus nasi untukmu. Ambil saja.” Rena mengusap-usap dadanya. “ Alhamdulillah, terima kasih bu…”
Senja itu langit cerah. Matahari bersinar kemerahan. Tak lama lagi, ia akan kembali ke peraduannya. Angin yang berhembus tenang semilir mengalir. “Assalamu’alaikum…! Rena membuka pintu gubuk tuanya. “Wa’alaikumsalam… Kakak!!!” Alya, adik Rena Nampak gembira dengan kedatangan kakaknya. Alya memeluk erat Rena dan berbisik “Kak, Alya lapar… Alya lapar dari pagi belum makan kak, kok kakak baru pulang?” Rintihnya. Mata rena berkaca-kaca. “Maafkan kakak yah, kakak harus mencari uang untuk membeli makanan. Ini kakak bawakan makanan untuk Alya.” Alya langsung sumringah menerima makanan itu dan membawanya kedalam ruangan.

Rena menghmpiri kamar ibunya, ia begitu tak kuasa ketika melihat ibunya terbarig lemah diatas ranjang yang sudah reyot. Hanya selembar kain tipis yang mengelimuti tubuh ibu. “Ibu…” ucap Rena lirih. Ibu menoleh wajahnya pucat pasi, ”Nak, baru pulang yah? Sudah berapa kali ibu bilang, jangan pulang terlalu sore nak, pamali! Ibu takut dengan keadaanmu… ukhu! Ukhu!” “Ibu, ibu tenang saja, Rena baik-baik saja ko, Bu… Rena ikhlas membantu ibu. Rena harus bekerja keras demi ibu” Ibu menatap Rena. Ia mengusap wajah Rena dan mengelus-elus rambutnya. Air mata pun perlahan menetes membasahi pipinya. Rena segera menghapus air mata itu dan membantu ibu bangun, kemudian memboyongnya keluar kamar.

Gema suara azan menggema setiap penjuru kota memanggil umat manusia untuk segera menghadap Sang Khalik. Rena bergegas mengambil air wudhu. Setiap guyuran yang membasahi anggota wudhunya terasa begitu dingin, menyejukan hati dan pikirannya
Rena memakai mukenanya yang sudah lusuh. Ia menghamparkan sajadah tipisnya yang juga sudah lusuh. Tak apa baginya, selama tempat solatnya suci, Allah pasti akan menerima ibadahnya. Rena memandang teduh ke tempat sujud. Bibirnya bergetar membacakan ayat-ayat suci al-quran. Hati dan seluruh gelegak jiwanya menyatu dengan Tuhan pencipta alam semesta. Seketika itu pula, Rena larut dalam samudra ayat ilahi.

Rena tampak khusuk berzikir menyebut nama Alloh. Di tengah kekhusuannya, ia mendengat jeritan adiknya.”Kakak!! Kakak!! Sini Kak!, Sini!” Rena langsung belari menghampiri. Ia terkesiap melihat Alya yang menangis tersedu-sedu.Ia semakin terkejut melihat ibu yang batuk berdarah.”Astagfirulloh, Bu… Ibu kenapa Bu?” Rena segera mengambil segelas air untuk ibu. “Ukhu…ukhu…,Ibu, Ibu tidak apa apa nak. Hanya saja persediaan obat ibu habis,” “Kenapa Ibu tidak bilang sama Rena, Bu? Pokoknya mulai sekarang Ibu harus banyak istirahat. Ibu berhenti bekerja mencuci, biar Rena yang cari uang untuk membeli obat Ibu.” “Rena, Ibu taidak mau menyusahkanmu, ukhu…ukhu. Rena anakku, sudahlah jangan terlalu bekerja keras.” Rena menggelengkan kepala. “Ini kewajiban Rena, pokoknya Ibu sekarang harus istirahat.” Rena dan Alya membantu ibu memasuki kamar.

Rena terpaku menatap langit. Langit mati tak ada setitik cahayapun yang menyinarinya. Hembusan angin kencang menusuk-nusuk ulu hati Rena. Pikirannya melayang pada dua hari yang lalu. Lomba yang selalu diimpikannya. Padahal tinggal beberapa langkah lagi untuk mencapai mimpinya. Belum lagi Raisa yang sungguh tidak senang dengan keberuntungan Rena. Berkali-kali ia mencaci-maki Rena. Ia benar-benar muak pada Rena.
“Ya allah, sungguh aku tak pantas untuk melawan. Aku benar-benar tak berhak melawan. Ya Allah, Engkau telah menutup rapat-rapat pintu cita-citaku. Aku, takdirku hanya menjadi upik abu. Sekarang, berhenti sudah perjalananku menuntut ilmu. Aku tak dapat lagi menimba ilmu. Aku harus bergelut dengan kemelut hidup, pahitnya duka. Demi Ibu, demi Alya.” Air mata Rena mengalir deras.
“Ya Allah, tabahkanlah hamba-Mu kini hamba tak berdaya. Aku tak menemukan semangatku. Dimana semangatku? Ya Allah, haruskah aku menghapus anganku? Haruskah aku mengubur dalam-dalam sepenggal asaku?”
Butiran mulekul pembentuk terik menghasilkan panas yang luar biasa, Raja siang membakar ubun-ubun. Gesekan sandal membuat telapa kaki kian panas. Asap kendaraan yang menyatu dengan asap pabrik membentuk polutan penyesak dada. Sungguh, hari yang penuh dengan kepengapan.
Kini, tak ada gemercik lonceng, tidak ada bangku-bangku dan papan tulis, tidak ada buku-buku yang biasa Rena baca di perpustakaan. Kini, Rena menyatu dengan debu jalanan, berjalan kesana kemari menjajakan dagangannya.

Di seberang jalan, Rena melihat Alya yang baru pulang sekolah. Meliha kakaknya, Alya tersenyum lebar dan melambaikan tangannya, ia berjalan lengah menyebrang jalan. Pandangannya hanya tertuju pada kakaknya. Tiba-tiba di sebelah kanan Alya, Rena melihat mobil yang melaju cepat hilang kendali. Rena terkejut setengah mati. “Alyaaa!!! Awas !! ada mobil!! Alyaa!!...” Suara Rena menggelegar membelah langit. Alya menengok ke arah kanan. Cciiitttt… dugggg…” tubuh Alya terpelinting. Tubuh mungilnya itu berguling-guling di atas jalan aspal yang menguap. Langit, awan, matahari, bangunan-bangunan itu menjadi saksi tragedy mengenaskan itu.

Rena melemparkan barang dagangannya, berlari menghampiri adiknya. Kini tubuh lemah Alya terbaring di pangkuan Rena. Sengatan listrik ribuan volt yang menyengat jantung Rena seakan membuat detaknya terhenti. Senyuman Alya masih terbayang di pelukpuk mata Rena. Kini, adiknya yang malang itu bersimbah darah. Darah segar keluar dari kepala, hidung, dan Mulutnya. Rena tak kuasa menahan tangisnya.
Sopir yang menabrak Alya menghampiri. Wajahnya pucat pasi. Ia pun menyesali perbuatannya. “Maafkan saya De, ini salah saya, maafkan saya. Adik ini harus segera dibawa ke rumah sakit.” Orang-orang yang berkerumun segera membantu Alya memasuki mobil untuk dibawa ke rumah sakit. Rena terus terisak-isak. Sisa darah Alya menempel di baju dan tangannya.

Aroma obat menusuk hidung. Wanita berbaju putih tampak sibuk bolak-balik ruangan. Orang-orang berkerumun di ruang rawat keluarganya masing-masing. Tak ada kebahagiaan disini, hanya ada keputusasaan.
Rena berdiri mematung melihat kondisi adiknya yang sedang koma. Alya dililit selang infus. Ibu menangis tersedu-sedu tak percaya akan apa yang telah terjadi. Kondisi ibu semakin melemah. Ia tak henti-hentinya batuk. Mereka, kini ada dalam duka yang mendalam. Bagi Rena inilah klimak dari kemelut kehidupan.

Malam datang membentangkan jubah hitamnya.hidangan langit tersaji dengan sepotong bulan dan taburan bintang di sekitarnya. Sungguh sempurna hidangan itu. Rena menatap lukisan angkasa itu dijendela ruang rawat Alya. “Ya Allah, kini penderitaanku lengkap sudah. Mimpiku telah hilang digulung ombak, lusuh di guyur air hujan. Dan kini, Kau sampaikan cobaan-Mu pada adiku. Ya Allah, Engkau telah mengakumulasikan kepedihanku.” Tetes air mata membasahi pipi Rena.

Ibu menghampiri Rena. “Rena, buah hatiku ukhu!! Ukhu!! Kau harus bersabar nak, kamu tidak boleh menyerah. Ini bukan akhir dari segalanya, ukhu!! Ini adalah bagian dari bingkisan Tuhan yang akan diberikan kepadamu nanti. Allah tak akan membiarkan hamba-Nya tersiksa. Percayalah nak, ukhu!! Ukhu!! Allah … Allah selalu menyertaimu ukhu!! Ibu minta maaf nak, selama ini ibu selalu menyusahkanmu… maafkan ibu, ukhu!” Air mata ibu mengalir deras. Rena memeluk ibu erat. Mereka larut dalam samudra kepedihan.

Pagi untuk kesekian kalinya datang. Kabut membungkus kota. Nampak takzim sejauh mata memandang. Alya masuk terpejam, tak kunjung sadar dari komanya. Ibu membacakan Solawat sambil mengusap-usap Alya dan Rena hanya menatap kosong kesekelilingnya.
“Krekk…” pintu ruang terbuka Rena begetu kaget ketika melihat siapa yang datang.” Ibu, mengapa ibu bisa tahu saya disni? Bu maafkan saya bu, sudah beberapa hari tidak sekolah…”. Bu Guru tersenyum. “tidak apa-apa Rena, ibu sudah tahu semua yang telah kau alami. Rena, ibu datang kesini untuk membawa kabar gembira untukmu. Kamu berhasil menjadi juara satu lomba siswa teladan, dan kamu berhak mendapat beasiswa yang bisa kamu gunakan untuk membiayai adikmu. Bukan itu saja, kamu juga bisa meneruskan sekolahmu Rena…” Air mata Rena kembal menetes, memeluk erat ibu gurunya “Ibu terimakasih” Ibu guru berkaca-kaca ia mengelus-elus rambut Rena
“Ibu, aku dapat beasiswa” Rena menghampiri ibunya. Ibu tersenyum lebar dalam genangan air matanya. “bingkisan Tuhan telah datang Rena.” Rena mengangguk-angguk. Rena memeluk erat ibundanya. “Ya Allah, maafkan hamba-Mu yang telah putus asa dengan cobaan-Mu terima kasih Ya Allah, Kau telah membuka lebar-lebar pintu untuk masa depanku. Aku akan merajut kembali mimpi-mimpiku yang telah usang. Akan kuambil kembali sepenggal asaku untuk ku bawa terbang mencapai cita-citaku”

Langit Nampak cerah dengan semburat keemasan sang surya. Awan berwarna putih sempurna dengan latar langit biru. Bunga-bunga pun tersenyum menyambut sepenggal asa Rena yang telah kembali.


Labels: , ,