Jembatan Layang Para Lentere - Cerpen Motivasi

JEMBATAN LAYANG PARA LENTERE
Karya Sarah Safira

Hari masih pagi, kumandang adzan telah bergema beberapa jam yang lalu. Suara orang yang berlalu lalang seakan menepis kenyataan bahwa kota ini adalah kota mati. Begitu ungkapannya.
“hei bagaimana ini ?” teriak seseorang dari dalam rumahnya
“sudah, sudah brapa kali aku mengatakannya ?” teriak orang yang berbeda dari sisi yang berbeda

Bersahut-sahut membalas angin yang begitu dingin. Bertumpang tindih dalam gubuk reyot yang sudah tak bernyawa. Menyapa dalam kepedihan yang terpendam, berharap esok dapat merasakan kesenangan yang tak mampu di beli.
“ndi, mau mangkal di mana kita hari ini ?” tanya ijal yang sedang sibuk membereskan barang dagangannya.
“tak tahu lah jal” jawab andi lesu sambil kembali membenamkan kepalanya ke dalam bantal. Banyak hal yang sedang berputar di kepalanya, keluarga, sahabat, impiannya. Akan di bawa kemana semua itu ?
“aku dengar di timur ada tempat yang mau di bangun, mungkin kalau kesana dagangan kita banyak yang laku” sambung ijal bersemangat.
Jembatan Layang Para Lentere

Dengan malas akhirnya andi bangun dan ikut membereskan barang dagangan yang akan dibawanya ke tempat yang baru saja di katakan ijal, ke timur.

Di perjalanan andi tak banyak bicara, tak seperti biasanya kali ini ia membiarkan ijal berbicara, mencibir, bahkan berteriak sepuas-puasnya. Tak ada yang harus di pendam, memang sudah begini adanya, kenyataan memperlihatkan banyak kepahitan bagi mereka. Takdir sedang memberikan mereka kecupan kepedihan dan kesengsaraan.

Menjadi penjual asongan di jalanan dengan penghasilan yang tak seberapa, tinggal di tempat yang sudah di anggap seperti kota mati, meninggalkan masa kanak-kanak yag tampak begitu indah bagi mereka. Semuanya seperti bayangan yang hanya akan terus berputar di kepalanya.
“andai saja kita terlahir di keluarga kaya kita tak harus seperti ini, aku bisa membeli banyak mainan robot-robotan yang seperti terpajang di toko-toko besar itu dan kau pasti bisa bersekolah di gedung yang besar dan bertingkat itu. Dan tentu saja kita bisa meraih semua impian kita” Ungkap ijal dengan mata yag menyala-nyala.
Andi hanya tersenyum dalam diam mendengar kata sahabat seperjuangannya itu.. membayangkan jika memang begitu adanya. Tapi sekali lagi, itu hanya khayalan mereka yang tak sanggup mereka beli.
“sudah lah jal, jangan ngawur.. kita ini penjual asongan nggak mungkin bisa yang begituan” katanya singkat sambil tertawa kecil.
“lahh, bukannya itu kata-katamu ndi ? kan kamu sendiri yang bilang kita bisa meraih semua itu asalkan kita mau berusaha, iya kan ?”
“haha iyaa, itu benar. Tapi kan kalau takdirnya tidak mendukung yaa sama saja” jelas andi santai. Walau begitu, ia tak bisa membohongi dirinya sendiri kalau ia memang mempercayai kata-kata itu. Tapi ia menepis semua itu dari fikirannya. Impiannya yang tersembunyi dalam sebungkus kekhawatiran.

Tak terasa pembicaraan ringan yang menyita fikiran itu membuat mereka tak sadar kalau mereka telah sampai di daerah yang di katakan ijal tadi.
“ya sudah, kita sudah sampai, aku akan berjualan di sekitar pertokoan itu” jelas ijal sambil menunjuk ke arah pertokoan yang berjejer rapi ke dalam blok-blok yang memanjang ke dalam.
“aku akan berjualan di sini saja” jawab andi singkat
Akhirnya mereka berpisah dan memutuskan untuk bertemu di bawah lampu merah saat matahari hendak terbenam.

Andi berjalan menyusuri trotoar sambil meneriakkan dagangannya.
“minuman pak, buk ?” teriak andi
“korannya juga pak? Buk?” teriaknya lagi.
Tak ada yang menyahut hanya kebisingan yang terus terdengar di telinganya. Tak merasa di abaikan, ia kembali menjajakan dagangannya, meneriakkannya ke setiap orang-orang yang sedang menunggu bus mereka, kepada orang yang sedang berlalu-lalang bahkan ke setiap orang yang berhenti menunggu lampu merah.

Matanya menyapu kesetiap orang yang mungkin-mungkin mengharapkannya. Tanpa sengaja ia menangkap bayangan sesosok gadis yang sedang di marahi oleh seorang laki-laki yang bertampang seram.
“sudah berapa kali di bilangin kenapa masi ngga ngerti ha ?” tanya laki-laki itu marah-marah.

Gadis itu hanya menunduk takut sambil menangis.
“sudah, tak usah nangis, kau fikir dengan menangis bisa makan ha ? sudah kembali bekerja sana, awas kalau kau salah lagi !” bentak laki-laki itu lagi lalu pergi meninggalkan gadis tersebut.
“dik, minumannya berapa satu ?” tanya seseorang membuyarkan pandangan andi
“hah? Owh tiga ribu rupiah saja mas” jawab andi setengah terkejut
“ini, kembaliannya buat kamu saja” ujar laki-laki tersebut lalu buru-buru pergi
“makasi mas” katanya lalu kembali melihat ke arah gadis tadi, namun ia tak menemukan bayangannya. Gadis itu tak lagi berada di sana.

Tiba-tiba banyak anak-anak yang sedari tadi sedang asik menjajakan dagangannya berlari ke arahnya dengan muka panik.
“ada polisi, ada polisi !!!!” teriak seseorang di antara mereka. Tanpa berfikir panjang andi pun ikut berlari bersama mereka. Tampak di belakangnya beberapa anak yang tertangkap, dalam hati ia berharap semoga saja ijal daaan gadis kecil itu tak tertangkap. Ia merasa ada sesuatu dari gadis kecil itu yang membuatnya penasaran. Dan ia harus mencari tau apa itu.
“berhenti kalian, berhenti !!” teriak salah satu polisi di belakang mereka.
Tanpa memperdulikan teriakan polisi itu Andi dan anak lainnya pun terus berlari menghindar dari kejaran mereka. Sambil berlari andi melihat ke sekelilingnya berharap dua orang itu tak ikut terjaring bersama anak-anak yang sudah tertangkap. “semoga saja” ujarnya dalam hati.

Setelah jauh berlari, dan merasa aman andi akhirnya memutuskan untuk beristirahat sebentar. Mengatur nafasnya yang masi terengah-engah dan duduk sebentar di pinggir jalan yang sepi.
“hmm untung kita ngga ketangkap sama kaya yang lainnya” ujar seseorang yang lalu duduk di dekatnya. Andi menoleh, gadis itu.
“seharusnya kamu ngelurusin kakimu biar ngga nyeri” ujarnya lagi.
“aku tau, kalau kakiku ngga di lurusin nanti lama-lama bisa kena penyakit parises” andi menyahut sambil tersenyum. Lalu meluruskan kakinya yang terasa sedikit nyeri.

Gadis itu membalas senyumnya.
“kamu pinter, sayang kamu harus terjebak di sini” ungkap gadis itu sambil menatap lurus ke depan.. andi penasaran, apa yang selalu di lihat gadis itu dengan matanya. Ia juga penasaran dengan ap yang di katakan gadis itu “sayang kamu terjebak di sini”....
“kamu bisa pinter jika kamu sering membaca”
“iyaa, aku sering melihatmu membaca koran-koran lusuh itu waktu kamu istirahat di dekat halte bus, sayang aku ngga bisa nyapa kamu waktu itu.” Kata gadis itu datar masi dengan senyuman, namun pandangannya tak lagi ke depan iya menatap lurus ke arah koran yang di selipkan andi di antara dagangannya.
“bahkan kamu membawa koran itu kemana-mana” sambungnya sembari tersenyum.

Andi terkejut mengetahui gadis itu memperhatikan bawaannya. Ia bahkan sudah lupa dengan koran yang ia selipkan kemarin di antara dagangannya karna tak sempat ia baca. Itu kebiasaanya, membiarkan kakinya beristirahat sembari membaca beberapa patah kata yang mungkin bisa menambah ilmunya. Dan jika ia tidak sempat membacanya ia akan menyelipkan koran tersebut di antara dagangannya. Dan membacanya keesokan harinya. Ia tak menyangka ada orang yang memperhatikan apa yang di lakukannya setiap hari.
“aku liat kamu mehartiin aku tadi” sela gadis itu.
“owh, tadi siang. Aku memang liat kamu di marahin sama laki-laki itu, memangnya dia siapa ? ayah kamu ya ?” tanya andi merasa malu karna tertangkap basah melihat sesuatu yang tak seharusnya menarik perhatiannya.
“bukan, dia bukan ayahku. Aku bekerja untuknya, setiap hari aku harus memberikan hasil kerja ku kepadanya” jelas gadis itu.
“dia bukan orang jahat, hanya perilakunya saja yang jahat. Suka membentak. Tapi dia sudah cukup baik karna membesarkanku selama ini” jelasnya lagi sambil tersenyum.
“jadi kenapa kamu nangis ?” tanya andi penasaran
“aku ngga nangis, aku cuma ngga mau buat dia kasian karna melihat wajahku, dia sering menangis karna ngga bisa memberikan apa yang aku inginkan” ujar gadis itu lalu tersenyum ke arah andi.
“kamu punya nasib yang baik” sambungnya
“kenapa kamu berkata seperti itu ?” tanya andi penasaran
“kamu masi punya tempat tinggal, kamu masi punya keluarga, sahabat, bahkan kamu masi bisa bermimpi” ia tersenyum
“memang kamu ngga punya ? kamu juga bisa bermimpi” ujar andi hati-hati
“aku ngga punya siapa-siapa, orangtuaku meninggal saat aku kecil karna itu aku tinggal bersama lelaki itu. Aku hanya bisa memimpikan hal yang kecil, ngga kaya kamu. Umurku cuma tinggal sebentar.”

Andi hanya terdiam mendengarnya.
“kamu percaya mimpi kan ? mimpi itu sesuatu yang sederhana tapi kuat, ia hanya merupakan hal yang tidak berguna jika kita hanya berani memimpikannya saja dan tidak berani untuk mewujudkannya. Dan ia akan menjadi hal yang paling berguna jika kita berani memimpikannya dan mewujudkannya.. hhmm itu kata-kata yang hebat bukan ?” ujar gadis itu girang sembari tersenyum

Andi tak menyangka gadis itu bisa mengeluarkan kata-kata seperti itu, kata-kata yang tak berani ia dengar bahkan ia katakan.
“kamu ngga usah khawatir tentang takdir, takdir itu memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan, takdir punya jalan sendiri. Walau kadang kita merasa itu terlalu kejam dan menyakitkan, tapi itu semua hanya untuk membuat kita semakin kuat dan tegar dengan apa yang akan kita hadapi nanti” kali ini gadis itu tidak tersenyum, ekspresi mukanya datar dengan pandangan yang membeku.
“kamu dengar dari mana semua itu ?” tanya andi tak menyangka, namun gadis itu hanya tersenyum.
“aku dengar seseorang mengatakan itu semua saat ia tertidur.. aku harus pergi, ini hampir gelap. kamu harus ingat, mimpimu, mimpiku, mimpi kita semua ini ibarat lentera bagi dunia, dan keyakinan menjembatani kita mencapai semua itu” gadis itu menyadarkan andi yang masih tak menyangka dengan apa yang di dengarnya. Ia tersenyum lalu pergi, berjalan perlahan ke arah pertokoan yang padat.
Setelah lama, andi masih terpaku. Ia masih tak menyangka dengan apa yang di dengarnya. Gadis itu mengatakan sesuatu tentang keberanian untuk bermimpi yang selalu ia takuti. Entah mengapa ia merasa benar dengan apa yang di katakan gadis tersebut. “takdir memberikan apa yang kita butuhkan bukan apa yang kita inginkan”.

Ia merasa bersalah karna membiarkan mimpinya terbungkus dalam kekhawatiran, dan membiarkan keyakinannya tertimbun dalam berjuta alasan yang ia takutkan.
“ndi” panggil ijal yang mengagetkan andi
“iyaa” ujar andi asal, fikirannya masih melayang dengan kata-kata dari gadis itu. “Aku hanya bisa memimpikan hal yang kecil, ngga kaya kamu”
“kemana aja? Aku cariin, eh malah enak-enakan duduk di sini. Pulang yuk” ujar ijal dengan suara lelah.
“kamu percaya mimpi jal ?” tanya andi tak menghiraukan ajakan ijal
“hhmm percaya sih percaya, tapi yahh kalau mimpi mending ngga usah tinggi-tinggi ntar kalau jatuh sakit ndi” ijal menjawab asal.
“mulai sekarang kita harus mulai percaya sama mimpi jal, walaupun kalau jatuh pasti sakit” entah apa yang membuatnya berkata seperti itu, kata-kata yang berbalik seratus delapan puluh derajat dengan apa yang diyakininya tadi pagi. Entah gadis itu yang telah mengubah apa yang diyakininya, tentu saja, pasti gadis itu..
Gadis itu yang telah menjembataninya, mengatakan sesuatu yang membuatnya memili keyakinan baru tentang mimpi. Tentang bagaimana ia harus tidak merasa khawatir lagi. Dalam hati, dengan senyum, di kediamannya, bertemankan sinar seluet indah dari matahari senja ia mengucapkan terimakasi kepada gadis kecil itu.

PROFIL PENULIS
Nama : Sarah Safira
TTL : Blang Pulo, 11 Desember 1997
Alamat : Aceh
Sekolah : SMAN 1 Bireuen
Alamat facebook : https://www.facebook.com/safira.sarah.5

Labels: ,