Di Stasiun Kereta Api Ini - Cerpen Remaja

DI STASIUN KERETA API INI
Karya Silvia Mayningrum

Pagi yang dingin mencekam harus ku lalui. Jalan panjang ku tempuh dengan ular naga besi. Begitulah bagi mereka para pecinta kereta menyebutnya. Pagi ini aku hanya diam membisu tanpa satupun kata. Ku duduk merenung memikirkan bagaimana hidupku nanti ketika aku menerima lingkungan baru, teman baru sekolah baru, hampir semuanya baru.

Tiba di stasiun kereta api di sebuah kota kecil namun asri yang sesaat lagi akan ku tempati, aku menunggu jemputanku di depan stasiun. Disaat aku duduk tenang di atas sebuah kursi panjang, seorang lelaki misterius bermata empat duduk di sampingku. Tangan kanannya memegang sebuah pensil dan tangan kirinya memengang sebuah foto. Di pangkuannya terdapat secarik kertas putih yang sesaat lagi akan ia isi dengan beberapa coretan. Entahlah, sepertinya ia sedang melukis foto yang sedang di pegangnya. Karena penasaran aku ingin sekali menanyakannya.
“Gambar apa, Kak?” tanyaku ramah.
“Kereta!” jawab lelaki misterius itu singkat.
“Lah , Kereta kok di gambar?” kata-katanya tadi membuatku semakin penasaran.
“Nggak papa, suka aja.” Jawabnya. “Oiya, kenalin aku Raka” sambungnya seperti mengajakku berkenalan.
“Aku Dera, kak salam kenal ya” sahutku melihatnya seraya tersenyum.
“Bukan orang sini ya?” tanyanya.
“Iya kak, aku dari Jombang. Tahun ajaran baru ini aku mau sekolah di sini. Kalo kakak orang mana?” Tanyaku.
“Aku tinggal disini dek. Di Jember” Jawabnya seraya terus menggerak-gerakkan pensilnya di atas secarik kertas.
“Wah, kebetulan banget kak aku baru pindah disini. Oiya kak , kalo boleh tau kenapa suka banget gambar kereta?”
“Nggak tau dek. Bagus aja. Menurutku kereta itu salah satu alat transportasi yang merakyat. Selain bentuknya yang unik. Kalo udah di padukan sama pemandangan sekitar pasti bagus. Makanya aku suka banget.” Jelasnya.

Di Stasiun Kereta Api Ini
Tiba-tiba seorang wanita separuh baya menghampiriku. Ternyata Tanteku sudah datang untuk menjemputku. Langsung saja aku berpamitan pada lelaki bermata empat itu. Padahal aku masih ingin sekali berbincang-bincang dengannya. Mengetahui mengapaa kesukaannya sungguh aneh sekali. Yah, semoga saja suatu hari nanti aku dapat bertemu lagi dengannya. Agar aku dapat mengetahui beberapa informasi ataupun sedikit pengetahuan darinya.

Mulai hari ini aku harus hidup mandiri. Jauh dengan kedua orang tua tidak menyusahkanku untuk hidup mandiri. Saat ini mungkin aku masih belum bisa beradaptasi karena aku belum terbiasa dengan semua.
Hari pertama tinggal di kota ini. Ku rasa menyenangkan. Tetanggaku yang ramah tamah membuatku nyaman untuk bersosialisasi di lingkungan baruku ini. Yang harus ku pikirkan. Sekolahku! Ya, sekolahku, aku tak tau Tanteku memindahkanku di sekolah yang mana. Kedua orangtuaku sudah menyerahkan hak asuhnya kepada wanita separuh baya namun masih tetap terlihat cantik ketika di pandang, Tante Ana.
Pagi-pagi sekali, Tante Ana membangunkanku, mengajakku sarapan, lalu mengantarku ke sekolah. Hari ini aku akan bertemu sekolah baruku, teman baru, dan guru baru. Entah mengapa ketika sampai di depan gerbang sekolah baruku. Aku sudah merasa nyaman. Semoga saja aku betah disana hingga aku lulus nanti.

Tante Ana mengantarkanku ketika aku menuju ke kelas baruku. Seraya berbincang-bincang sedikit. Tanteku menyampaikan sebuah pesan untukku.
“Jaga diri baik-baik nduk. Ini udah bukan di Jombang lagi. Belajar yang bener jangan macem-macem. Orangtuamu nyekolahin kamu jauh-jauh bukan pengin ngejadiin kamu anak liar. Tapi orangtuamu pengin kamu jadi anak mandiri. Jaga betul-betul kepercayaan mereka.”
Setelah berpisah dengan Tante Ana. Aku memasuki kelas baruku. Kelas VIIE. Aku kira disana aku akan merasa bosan karena teman baruku tidak akan mau bersosialisasi denganku. Ternyata aku salah besar. Teman sekelasku sunguh sangat amat ramah sekali. Di hari pertama ini. Aku berkenalan dengan beberapa teman baru. Sebut saja mereka Rani, Dio, Ragil, dan Denis. Mereka adalah teman yang ramah, di hari pertama saja mereka telah mengajakku berkenalan dengan teman satu kelas. Lalu mereka mengajakku berkeliling sekolah, berkenalan dengan guru-guru, kakak kelas, maupun adik kelas baruku.

Karena hari ini adalah hari pertama di tahun ajaran baru. Tidak ada kegiatan belajar mengajar yang di lakukan. Ketika sedang asyik-asyiknya berjalan-jalan mengelilingi sekolah baruku bersama teman baruku pula. Aku melihat seorang lelaki yang tak asing lagi dimataku. Siapa dia? Pikirku. Entahlah, aku berusaha mencoba mengingat-ingat namanya. Ya, sekarang aku ingat. Ia adalah Kak Raka. Lelaki misterius yang aku temui di stasiun kereta api lusa sore. Sungguh aku sama sekali tak menyangka bisa bertemu lagi dengan Kak Raka. Dan lebih tak menyangkanya lagi. Ternyata Kak Raka adalah Kakak kelas baruku.
“Loh dek, kamu yang kemaren lusa di depan stasiun kan?”
“iya kak. Loh kakak yang kemaren gambar kereta di depan stasiun kan?” kataku sambil menggaruk-garukkan kepala.
“hehe, iya , Dek. Masih inget juga ternyata.” Serunya seraya tersenyum lebar.
“iyalah belum nyampek 1 tahun masak udah lupa.” candaku padanya. “Oiya kak, kemaren itu sebenernya masih banyak yg pengin aku tanyakan. Berhubung kemarin tanteku udah njemput , nggak jadi udah. Eh kebetulan banget kita ketemu lagi.” Sambungku
“mau Tanya apa dek? Besok aja udah kita ke perpustakaan. Kamu pasti belum pernah kesana?” Tawarnya kepadaku
“ Iya kak koktau ? yaudah besok ketemu di perpustakaan ya.”
Tiba-tiba bel berbunyi dan aku langsung pergi meninggalkan Kak Raka dan beranjak menuju kelas baruku. Kak Raka pun beranjak pula dari tempat ia berdiri menuju kelasnya. Tak lupa pula aku mengucapkan salam perpisahan untuknya.

Keesokan harinya, sungguh amat menyenangkan sekali. Kak Raka sudah menantiku sejak tadi di depan perpustakaan sekolah. Senyumannya menyambutku bersemangat menjalani hari ini. Aku baru mengetahuinya, ternyata Kak Raka adalah lelaki yang humoris. Pada hari ketiga aku berjumpa dengannya saja, ia telah berhasil membuatku tertawa geli karena candaannya. Sungguh amat berbeda sekali, Kak Raka yang awalnya ku kira misterius, ternyata ia adalah sosok yang humor. Selain humor sepertinya Kak Raka juga pandai dalam berbagai bidang. Apalagi menggambar. Sungguh, aku sama sekali tak merasa rugi pernah berkenalan dengannya.
Hari demi hari beralu, waktu telah berhasil membuatku dekat dengan Kak Raka. Entah mengapa aku merasa cocok apabila dekat dengannya. Apabila aku berbaur canda dengannya, dunia seakan-akan ku lupakan seraya dunia hanya ada aku, Kak Raka dan beribu canda tawa kita.
Setiap jam istirahat kita pasti bertemu dan hampir selalu bersama. Di mushola sekolah. Perpustakaan, Kantin, bahkan kamar mandi. Tak heran apabila banyak Kakak kelas yang mengenalku karena kedekatanku dengan Kak Raka. Karena Kak Raka salah satu murid pandai di sekolah ini.
Kedekatanku dengannya hampir menyebar ke seluruh warga sekolah. Entah aku tak tau mengapa mereka selalu beranggapan bahwa aku sangat cocok dengan Kak Raka. Sampai-sampai ada yang meng-kabar burungkan aku dan Kak Raka, bahwa kita telah menjalin suatu hubungan. Padahal hubunganku dengannya hanyalah sebatas Kakak dan Adik.

Suatu hari Kak Raka mengajakku pergi ke stasiun sepulang sekolah. Entah, aku tak tahu apakah yang akan ia lakukan disana. Apakah ia ingin membeli tiket kereta? Aku tak tahu. Ia hanya mengatakan bahwa ia ingin menunjukkan sesuatu padaku.
Selama di perjalanan menuju stasiun kereta. Kak Raka bercerita panjang lebar padaku tentang suatu komunitas yang bernama “Railfans”. Aku tak begitu mengerti apa itu. Kata Kak Raka “Railfans” adalah suatu komunitas pencinta kereta api yang tak pernah bosan untuk mencuri beberapa gambar melalui kamera mereka dan mengkoleksinya. Aku tertegun melihat Kak Raka bercerita menceritakan tentang objek yang Ia sukai. Tiba-tiba aku sadar bahwa selama ini Kak Raka ingin sekali menunjukkannya padaku.

Tiba di stasiun, tempat tujuan awal kami. Kak Raka langsung mengeluarkan kamera kecilnya dari dalam tas gendongnya. Kak Raka menyapa para Railfans seraya berbincang-bincang sedikit dengan mereka. Ketika kereta lewat melaju di hadapan mereka. Dengan sergap mereka langsung memotretnya. Aku tersenyum, tanda mulai mengerti.
Kak Raka mendekatiku. Senyum lebarnya menyampaikan padaku bahwa ia sungguh merasa bahagia hari ini karena telah berhasil mencuri beberapa gambar yang berpadu dengan alam sekitar. Akupun turut bahagia melihatnya bahagia.

Ketika aku dan Kak Raka berniatan untuk pulang, tiba-tiba langit berubah menjadi gelap. Matahari menyembunyikan sinarnya lalu bersembunyi di balik awan yang hitam. Rintik-rintik air langitpun jatuh. Membasahi dunia beserta isinya. Aku dan Kak Raka berlarian mencari tempat yang teduh. Tiba di tempat yang teduh Kak Raka langsung menghempaskan tas gendongnya lalu mengeluarkan sebuah jaket dari ranselnya.
“Dek, kamu nggak kenapa-kenapa kan?” Tanyanya seraya menyelimutkan jaketnya di badanku yang telah basah kuyup karena air hujan.
“ Nggak kok , Kak. Kok kakak nyelimutin ke aku sih. Emangnya Kakak enggak kedinginan?” Tanyaku kembali karena aku merasa khawatir pula padanya.
“Nggak, Dek. Aku nggak pengin kamu sakit gara-gara aku ngajak kamu kesini. Udah mending kamu yang makek. Aku nggak kenapa-kenapa kok.” Jelasnya dengan mimik meyakinkan.

Kak Raka , dengan sosok yang humoris kali ini berubah menjadi sosok yang penuh perhatian di hadapanku. Dengan rasa pedulinya, ia mengusapkan air langit yang ada di wajahku. Matanya yang tajam menatapku di balik kacamata yang ia kenakan. Lalu ia tersenyum padaku. Bibirnya yang kelu mengisyaratkan padaku bahwa ia ingin mengatakan sesuatu. Namun sungguh Ia tak memiliki nyali untukku mengatakannya.
Dadaku bergetar. Gugup yang aku rasa saat ini. Padahal, sudah sekian kali aku berada di dekatnya. Namun baru kali ini aku merasa berbeda. Sungguh aku merasa semua tak sama. Dalam hati aku berdoa. Tuhan perasaan apakah ini. Apakah aku benar-benar jatuh cinta padanya. Benarkah Tuhan. Apakah cinta dapat tumbuh di usiaku yang masih amat belia ini.

Tiba-tiba Kak Raka menarik tanganku. Dibawah rerintikan hujan yang deras, ia menarik tanganku lalu berlari menembus air hujan. Aku berteriak lalu menarik tangannya.
“Kak! Kok malah ngajak aku main hujan-hujanan sih, katanya takut aku sakit?” Teriakku sedikit agak marah.
“ Maaf ya, Dek. Daripada kita berlama-lama nunggu hujan yang gak kunjung reda disana. Mending hujan-hujanan aja. Enak kan mandi gratis” Candanya yang dapat membuat wajahku yang kusut menjadi senyuman dan gelak tawa.

Aku pun menjadi bersemangat untuk menerobos hujan bersama Kak Raka. Sungguh sore ini adalah sore yang sangat beharga dan istimewa. Jaket pinjaman dari Kak Rakapun masih ku kenakan hingga aku pulang, sampai-sampai aku lupa untuk mengembalikannya kembali pada Kak Raka. Tiba-tiba di bawah rerintikan hujan yang deras, Kak Raka menghentikan langkah kami berdua.
“Dek, aku pengin ngomong sesuatu.” Ucapnya.
“Sesuatu? Apaan? Ngomong aja udah Kak” Jawabku sedikit mencibirnya.
“Menurutmu kenapa, temen-temen di sekolah sering nggospiin kita. Yang kita pacaran lah, yang kita saling suka lah. Yang kamu suka sama aku lah. Yang aku suka sama kamu lah. Emangnya kita keliatan kayak gitu?” Tanyanya dengan penasaran padaku.
“ Ehm, enggak tahu juga yah, Kak. Aku juga bingung.” Kataku sambil menggaruk-garukkan kepala.
“Jujur deh Dek. Kayaknya semuanya bakalan jadi kenyataan deh.” Serunya
“Loh, kok bisa?” Tanyaku sedikit terkejut.
“Kamu inget pribahasa yang berbunyi “Perkataan adalah sebuah doa” gak?” Tanyanya lagi sambil menatap wajahku.
“Iya inget kak. Lah , Berarti Kak Raka bener-bener , bener-bener anu dong” Ucapku sedikit gugup
“Ehhh, kayaknya aku bener-bener anu deh dek, ke kamu” Sambungnya. “Tapi kamu jangan bilang-bilang siapa-siapa dek, tentang ini cukup Aku , Kamu dan Allah yang tau. Aku gak mau kabar burung itu semakin meluas. Dan bisa kedengeran guru-guru”
“Hah? Iya iya kak” Mulutku seolah-olah kehilangan kata ketika aku mendengar penjelasan dari Kak Raka.
“Kak, sebenarnya aku juga punya perasaan yang sama kayak Kak Raka” sambungku.
Sungguh, hari ini adalah hari yang tak pernah ku bayangkan. Ada pengakuan hebat dari orang yang baru aku kenal 4 bulan yang lalu. Jalan memisahkan kita berdua. Namun hujan tak henti-hentinya membasahi dunia.

Tiba di rumah, badanku berubah menjadi lesu. Lemas yang ku rasa kali ini. Demam tinggi sepertinya akan menyerangku. Tiba-tiba telpon genggamku yang sejak tadi ku biarkan sendiri dirumah berbunyi. Ternyata temanku Ragil mengirim pesan singkat padaku.
“Habis hujan-hujanan bareng Kak Raka ya?”
Isi pesan dari Ragil berhasil mengejutkanku. Darimana ia tahu bahwa aku baru pulang karena kehujanan bersama Kak Raka. Aku langsung membalas pesannya. Keesokan harinya Ragil menanyakan perihal itu, semacam mengintrogasiku. Ia menanyakan hampir semua hal. Dan aku berhasil mendengar kabar burung dari temanku bahwa diam-diam Ragil mengagumiku dari jauh dan sudah lama ia memendamnya.

Tuhan, mengapa aku baru sadar sekarang. Aku tak suka, apabila diriku bersenang-senang di atas penderitaan orang lain. Aku tak suka. Apalagi Ragil adalah sahabatku. Maafkan aku Ragil.
Suatu hari Ragil mengajak berbincang-bincang empat mata denganku. Aku hanya mengiyakan permintaannya. Dan yang lebih mengejutkan lagi. Kabar itu bukan hanya sekedar kabar burung. Namun kabar itu adalah kabar nyata. Ragil benar-benar mengagumiku dari jauh, sudah lama pula.
Sejak pengakuan Ragil dan Kak Raka padaku di hari itu. Aku semakin dekat dengan Ragil. Begitupula dengan Kak Raka. Kak Raka jadi semakin memperhatikanku. Aku dan Ragil pun jadi sering tenggelam dalam canda tawa bersama. Tak peduli bagaimana perasaannya ketika mengetahui bahwa aku dan Kak Raka tak kalah dekat dengan kedekatanku dan dia.

Kabar burung berterbangan lagi di seantero sekolah, yang mengatakan bahwa Ragil telah mengatakan rasa padaku. Padahal Ragil hanya mengungkapkan perasaannya yang selama ini telah ia pendam. Tak di sangka lagi, kakak kelasku turut terhipnotis dengan kabar itu. Yang ternyata menyimpang dengan yang asli. Sebagian dari mereka banyak yang kecewa mengapa aku tak menjalin hubungan dengan Kak Raka saja. Mengapa harus dengan Ragil. Padahal aku sama sekali tak memiliki hubungan khusus dengan Ragil, hanya sebatas sahabat saja.
Yang mengejutkannya lagi, Kak Raka mengetahui kabar kedekatanku dengan Ragil beserta gossip palsu yang beredar itu. Entah siapakah yang telah membuat onar itu. Apa mungkin ia tak suka melihat persahabatanku dengan Ragil? Atau ia tak suka melihat kedekatanku dengan Kak Raka? Oh entahlah, aku tak pernah berfikir apa-apa.
Aku merasa semakin di kucilkan di sekolah, karena kabar itu. Tuhan, apa salahku?. Satu persatu teman-temanku semakin menjauh. Kecuali sahabatku, Rani, Dio, Denis, dan Ragil tentunya. Mereka tetap di sampingku. Walau apapun cemooh datang menyerang diriku. Akupun mulai mengambil sikap. Pikirku, jadi orang bijak itu lebih baik daripada terus melawan cercaan-cercaan yang tidak benar.
Kak Raka? Akhir-akhir ini aku telah kehilangan sosoknya. Ia yang selalu memperhatikanku, menyayangiku, membuatku tersenyum kini hilang dari hadapan mataku. Aku hanya berpikiran bahwa Kak Ragil menjauhiku karena ada suatu alasan yang memaksanya menjauh. Entah aku tak tau apa itu.

Hari demi hari kini berbeda, tak ada lagi senyum yang menyungging di bibirnya untukku. Tak ada lagi tegur sapanya. Tak ada candaan konyol dan cibiran unik lagi di antara kita. Tak ada lagi jailan usil yang ia lakukan padaku seperti dulu. Sungguh kini ku merasa sangat kehilangan dirinya. Kehilangan sosoknya. Kehilangan semua yang pernah ia berikan dulu padaku.

Kini, ia berubah. Benar-benar berubah tak seperti sedia kala. Sosoknya yang selalu menemaniku di ruang perpustakaan kini tak pernah ku jumpai lagi. Yang ada hanyalah bayangnya beserta kenangan bersamanya. Tak ku sangka air mata menetes melewati pipiku ketika ku sedang termenung sendiri di ruangan yang bagiku dahulu penuh cinta itu. Sungguh aku tak percaya dengan secepat kilat Kak Raka menyembunyikan diri dari diriku.
“Oh Tuhan? Dimana Kak Raka yang dulu? Yang selalu menemaniku. Mengubur sepiku. Membunuh sedihku. Menghempaskan sesalku. Dimana Ia saat ini? Mengapa ia berubah secepat itu? Mungkinkah hanya karena kabar burung yang tidak benar itu? Namun itu sungguh sangat amat tidak masuk logika sama sekali.” Doaku dalam hati bersamaan dengan menetesnya airmata yang terus berjatuhan membasahi bajuku.
Dengan sebuah pena. Tanganku bernari-nari di atas selembar kertas. Bait demi bait ku tumpahkan disana. Seluruh perasaanku. Seluruh isi hatiku. Dan seluruh keluh kesahku. Sambil terus meneteskan airmata tanpa seorangpun melihat apa yang ku lakukan.

Tiba-tiba ada yang mengejutkanku dari belakang dengan memegang pundakku. Sontak, aku langsung menghapus airmataku. Ternyata Guru Bahasa Indonesiaku, Bu Tini sudah daritadi memperhatikanku. Beliau ingin tahu apa yang aku lakukan sejak tadi. Dengan menghapus mimik galauku lalu ku pasang senyum di luarnya aku berusaha meyakinkan beliau bahwa aku melakukan suatu hal yang bermanfaat.

Oh tidak. Aku lupa menyembunyikan selembar kertas yang aku gunakan untuk menumpahkan pedih perihku. Dan apa yang ku lihat. Bu Tini merenggutnya lalu membacanya dengan khusu’. Sepertinya beliau terbawa suasana dengan apa yang kutulis disana.
“ Bagus sekali puisi buatanmu nduk? Boleh ambil Ibu?”
Kata-katanya mengejutkanku. Aku tak percaya dengan apa yang beliau ucapkan. Beliau memuji kalimat-kalimat gilaku lalu menyebutnya “Puisi”? . Apakah kata-kataku seindah bait dalam puisi? Padahal itu hanyalah curahan hati tentang perasaan dari seorang gadis yang masih dibawah umur seperti diriku. Aku mengiyakan saja permintaannya. Lalu beliau pergi meninggalkanku. Oh, entah apa yang beliau pikirkan sehabis membaca karangan gila dari penulis amatir sepertiku.

Keesokan harinya. Ku langkahkan kakiku sendiri di lorong sekolah menuju kelasku. Ku lihat banyak siswa-siswi mengerumuni madding sekolah. Namun tak sekalipun aku menghiraukan semua itu. Hingga ada beberapa siswa mengerumuniku lalu menjabat tanganku.
“Selamat ya,Der. Karyamu bagus banget. Gak heran kalau guru-guru banyak yang suka”
Hah? Apa? puisi? Darimana mereka tahu tentang tulisan gilaku yang lebih pantas disebut puisi itu? Mungkinkah ada seseorang yang sengaja menempelnya di madding? Atau Bu Tini yang telah yang menempelnya?

Tanpa berfikir panjang aku bergabung dalam kerumunan itu dan melihat apa yang sedang mereka perhatikan. Dan ternyata perkiraanku benar. Bu Tini memajang puisiku disana. Bu Tini telah mengetiknya dan menyertakan namaku disana beserta pujian indah dari beberapa guru tentang puisi gila karanganku. Teman-temanku, Adik kelas beserta kakak kelasku merbondong-bondong memberikan selamat lalu menjabat tanganku. Ada beberapa siswi yang mengatakan bahwa bait puisi itu ku tulis di peruntukkan untuk Kak Raka. Ada juga yang mengatakan bahwa aku menulisnya karena aku rindu dengan sosok Kak Raka yang kini telah menghilang. Dan untuk kali ini, perkiraan mereka benar.

Baru ku sadari. Kak Raka telah bergabung juga dalam kerumunan di depan madding itu. Dengan tersenyum ia membacanya dengan serius mencermati tiap-tiap bait yang ku tumpahkan di dalam puisiku. Sontak teman-teman Kak Raka langsung memberitahukan kepadanya bahwa penulis didalam puisi itu membuat puisinya untuk seseorang, seseorang itu adalah Kak Raka. Dan penulisnya adalah Aku. Dera Putri Setyowati. Anak baru di Sekolah Menengah Pertama Negeri ini.
Semenjak puisi yang ku tulis di perpustakaan itu beredar. Pengkucilan-pengkucilan kepadaku mulai di hapuskan. Lingkungan sekolah mulai kembali seperti semula. Ramah tamah kembali lagi kudapatkan dari teman-teman, adik-adik, beserta kakak-kakak kelasku. Di pagi hari saja sudah banyak yang menyapaku sembari tersenyum padaku. Ada suatu hal yang membuat ku tak percaya. Kak Raka tersenyum pula padaku. Setelah sekian lama tak ku dapatkan itu darinya. Kini dapat ku baca lagi perasaan yang telah tersirat dari sorotan matanya.

Berakit-rakit kehulu, berenang-renang ketepian. Bersakit-sakit dahulu. Bersenang-senang kemudian. Itulah yang kurasa saat ini. Puji syukur dan beribu-ribu terimakasih ku panjatkan pada Allah SWT yang telah mengembalikan semua keadaan seperti semula. Terima Kasih Tuhan..
Satu bulan lagi kakak-kakak kelas IX akan menempuh Ujian Nasional. Aku turut tegang karena tahun depan aku akan mengalaminya juga. Waktu yang singkat ini tak Kak Raka dan kawan-kawannya sia-siakan untuk belajar dengan giat dan tekun.
Suatu hari ketika aku sedang membaca novel di perpustakaan. Ternyata Kak Raka sedang belajar pula diperpustakaan bersama dengan teman-temannya. Ku dengar ada seseorang yang memanggil namaku. Setelah ku cari asal suara itu. Ternyata Kak Raka memanggilku memintaku untuk belajar bersama dengan mereka. Sejak saat itu, aku mulai kontak lagi dengannya meskipun hanya ketika sedang belajar di perpustakaan.

Ujian Nasional tiba. Inilah waktunya bagi para siswa-siswi kelas IX untuk mempersiapkan diri menuju jenjang yang lebih tinggi. Tak kusangka waktu berjalan dengan cepat tanpa terasa. Sebentar lagi akan kulihat kakak kelasku, meliapat seragam putih birunya yang kusam. Dan akan menggantinya dengan seragam putih abu-abu yang cerah.
Setelah semua usai. Ada suatu acara yang paling ditunggu-tunggu oleh siswa kelas IX yaitu acara Perpisahan. Semua orang yang mendengarnya pasti akan tak kuasa untuk menahan tangisnya. Apalagi diriku. Yang baru saja merasa dekat dengan kakak-kakak kelasku. Kini akan menyaksikan bagaimana guru-guru akan mengembalikan putera-puterinya kepada walimurid masing-masing.

Banyak guru-guru yang memintaku tampil membacakan puisi karyaku sendiri ketika acara perpisahan nanti. Tanpa banyak berpikir, langsung saja ku iyakan permintaan itu. Karena aku benar-benar sangat ingin mengekspresifkan isi hatiku di hadapan kakak-kakak kelasku tak terkecuali Kak Raka. Aku membacanya dengan suara lantang namun pasti. Mimik ku pasang sesuai dengan arti puisi yang ku lantunkan. Semua yang melihat dan mendengar tertegun tak menyangka dengan apa yang aku lakukan.

Tiba di acara pengumuman siswa berprestasi. Aku kira aku salah mendengarnya, ternyata tidak. Pendengaranku masih normal. Kak Raka, Kakak kelas yang aku kagumi sejak awal masuk disekolah ini mendapatkan beasiswa di Jogjakarta dan dapat meneruskan ke jenjang berikutnya, bebas tanpa biaya karena lukisan “Ular Naga Besi” karyanya yang ia kirimkan ke salah satu sekolah lukis yang terkenal di Jogjakarta telah berhasil mengikat minat perusahaan-perusahaan di Australia untuk membelinya dan memajangnya di dinding perusahaan milik mereka. Aku turut bahagia mendengarnya. Tak menyangka itu pasti. Sekaligus merasa bersalah karena telah menuduhnya macam-macam perihal perubahan sikapnya. Kini aku mengerti selama ini Ia menjauhiku karena sedang serius dengan Ujian Nasional beserta Lukisan-lukisan dan impiannya bersekolah di Jogjakarta.
“Kak Raka, Selamat ya. Congratulation for your succes” Dengan memberanikan diri aku berjalan menuju hadapannya dan memberikan ucapan selamat kepadanya.
“Eh, Dera. Iya, Dek. Sama-sama, ini semua juga berkat kamu. Yang sering nemenin aku belajar di perpustakaan. Yang pernah nemenin aku hunting di stasiun. Pokoknya kamu udah ngajarin banyak hal buat aku. Termasuk Hati.”
“Kak, Maafin Dera ya, Dera udah salah sangka. Dera kira Kak Raka berubah gara-gara gossip burung itu. Ternyata Aku salah. Aku nggak tau kalau Kak Raka punya cita-cita sekolah di Jogjakarta” Aku menundukkan kepala menyesal.
“ Maafin aku juga, Dek. Yang gak pernah beritahu kamu soal ini. Maaf banget. Aku terlalu misterius buat kamu. Maafin aku yang nggak pernah mau tahu tentang perasaanmu sama aku. Maafin aku yang nggak tau kalau kamu sayang aku. Seperti yang kamu lukiskan di bait puisimu.” Kak Raka menyentuh pundakku.

Aku tersipu “Ya udah. Intinya kita sama-sama salah, Kak, yang sama-sama gak pernah bisa ngerti perasaan satu sama lain. Sekarang aku ngerti arti hadirnya kakak disini.”
“Aku juga, Dek. Makasih udah mau ngisi hidup ini sekaligus hati yang kosong ini”
Aku semakin tersipu dibuatnya, “Hmm, udahan ah, Kak. Jangan sedih-sedih mulu. Mending kita seneng-seneng” aku tersenyum menatap wajahnya.

Sore itu di Stasiun..
“Kak, Kak Raka beneran mau pergi?” Tanyaku seraya menundukkan kepala menahan tangis.
“Iya, Dek. Maafin aku. Aku harus pergi secepat ini. Kita pasti bisa ketemu lagi kok.” Kak Raka mengangkat kepalaku lalu menghapus air mata di pipiku.
“Aku pasti bakalan kangen kamu, Kak.” Aku berusaha mencoba jujur untuk terakhir kalinya kepada Kak Raka. Walaupun sebenarnya tak ada hubungan special di antara kita.
“Apalagi aku, Dek. Kamu jangan nakal ya. Aku pasti kembali.” Serunya seraya menarik hidungku.
“Auw, Kak Sakit” dengan geram aku membalas mencubit bahunya. Kak Raka hanya tertawa. “ O iya, Kak. Ini buat Kakak.” Sambungku seraya menyerahkan hadiah yang kubungkus tadi dirumah.
“Apa ini dek?” Dengan tersenyum Ia membukanya.
“Itu sajadah kenang-kenangan dari aku, Kak. Biar kakak kalau lagi sholat selalu inget sama aku. Hehe”
“Makasih ya,Dek. Meskipun gak ada sajadah ini. Aku bakalan selalu inget kamu kok. Emangnya kita lagi mau berpisah ya? Perasaan enggak.” Candanya padaku membuatku geregetan kepadanya.
“Tau ah, Kak. Kalau kakak pura-pura lupa kayak gitu. Mending aku pulang aja nih. Capek tau.” Ucapku kesal padanya,
“Hehe, jangan , Dek. Kan Cuma bercanda.” Tangannya menarik tanganku seakan Ia tak ingin ku pergi.
“Oh iya, Kak. Waktu itu kita pernah hujan-hujanan kan di stasiun ini. Terus kakak minjemin aku jaket. Ini kak jaketnya aku bawa.” Aku mulai repot mencari-cari jaket milik Kak Raka di tas yang ku bawa.
“Nggak usah dah, Dek. Itu buat kamu aja. Lagian aku udah bawa jaket kok.” Ucapnya sambil mengembalikan jaket yang aku serahkan kepadanya.

Tiba-tiba seru suara kereta berbunyi. Ternyata kereta yang akan mengantar Kak Raka menuju Jogjakarta telah siap untuk mengantarnya. Kak Raka masuk menaiki kereta itu. Terakhir kalinya Ia memberikan senyuman dan ucapan padaku di Stasiun ini. Tak ada hubungan yang pasti di antara kita. Sebuah komitmenpun tak ada. Yang aku tahu, Kak Raka menyayangiku. Dan aku menyayanginya. Ia adalah cinta pertamaku, dan aku adalah cinta pertamanya. Dulu, aku bertemu dengannya pertama kali disini, di stasiun ini. Sekarang, aku berpisah dengannya di tempat yang sama. Entahlah, aku dapat bertemu lagi dengannya atau tidak suatu saat nanti. Yang pasti aku akan selalu menantinya. Dan aku berjanji akan lebih semangat dalam menjalani hari-hariku. Walau tak ada lagi Kak Raka disampingku.

Labels: ,